May 1st 2024, 13:35, by Kitty Katherina, Kitty Katherina
Masih dalam rangkaian libur hari raya lebaran, saya bersama keluarga sejenak jalan-jalan di Kota Solo. Keraton Surakarta menjadi salah satu tujuan kami. Parkir di sekitar gerbang keraton, Kori Brajanala Lor atau Kori Gapit, kami menaiki becak berkeliling keraton, bapak tukang becak menawarkan Rp. 50.000,- untuk sekali berkeliling.
Kita boleh minta berhenti untuk masuk ke keraton dan museum, tukang becak akan menunggu. Waktu yang diperlukan sekitar 30-45 menit untuk menikmati keindahan dan wibawa keraton. Tiket masuk keraton dan museum Rp. 35.000,- terbagi atas Rp. 25.000,- sebagai tiket masuk dan Rp.10.000,- untuk biaya pemandu, yang akan memandu kita berbarengan dengan beberapa rombongan lain.
Memasuki halaman keraton, atau pelataran keraton, terdapat beberapa peraturan yang harus diikuti sebagai bentuk rasa hormat. Bagi yang memakai sendal harus melepas alas kaki, bagi perempuan yang tidak memakai rok panjang harus menggunakan kain layaknya memasuki Pura di Bali, melepas topi dan kacamata hitam.
Pengunjung hanya bisa sampai di pelataran, dari titik ini kita bisa melihat beberapa bangunan keraton yang masih berfungsi. Yang paling menarik pandangan adalah bangunan tinggi, Menara atau Panggung Sanggabuwana yang zaman dulu digunakan untuk memantau musuh, melihat bulan, menentukan tanggal puasa, juga untuk tempat berdoa.
Kita juga dapat melihat Pendopo Agung Sasana Sewaka, sebagai tempat untuk menghadap raja, tempat dilaksanakannya malam 1 Syuro. Di balik pendopo ini adalah tempat tinggal Raja Surakarta yang sedang memimpin saat ini.
Ornamen-ornamen pada pendopo ini banyak berasal dari Eropa, seperti lantai marmer dan lampu kristal dari Italia, patung-patung suvenir dari Roma, patung warna emas dari Belanda, sementara pot-pot bunga cantik dari China. Hal ini menandakan Kesultanan Surakarta memiliki hubungan yang baik dengan beberapa negara di luar.
Di sebelah selatan Sasana Sewaka, terdapat bangunan Sasana Handrawina yang merupakan ruang perjamuan untuk kunjungan kenegaraan, berdekatan dengan bangunan dapur tempat para koki memasak makanan untuk jamuan. Di pelataran ini juga terdapat beberapa bangsal, di antaranya Bangsal Pradonggo untuk tempat gamelan dan bangsal lainnya tempat prajurit makan ketika ada kegiatan.
Di area pelataran suasana sangat rindang dan udara sejuk karena keberadaan pohon-pohon yang memenuhi halaman keraton. Pemandu wisata menyebutnya Pohon Kecik yang memiliki makna untuk selalu berbuat baik kepada sesama manusia, seperti pohon ini yang selalu menyejukkan. Di pelataran ini juga masih ditemui sesajen dari kembang dan dupa sebagai bentuk persembahan terhadap alam dan pemeliharaan tradisi di lingkungan keraton.
Dari pelataran Keraton kami beranjak ke area museum yang menyediakan pengetahuan Sejarah terkait Kasunanan Surakarta secara lengkap mulai dari dari foto-foto dan berbagai barang-barang Kerajaan. Keraton Surakarta merupakan kelanjutan dari Kerajaan Mataram Islam. Kerajaan Mataram Islam merupakan sebuah kerajaan besar yang berdiri pada abad 15.
Kerajaan ini mengalami masa kejayaan di bawah pimpinan Sultan Agung Hanyakrakusuma yang mampu menyatukan Tanah Jawa kecuali Banten dan Batavia. Beliau juga sengit melakukan perlawanan terhadap VOC. Kejayaannya tidak mampu dilanjutkan oleh keturunannya bahkan terdapat beberapa generasi malah bekerja sama dengan VOC.
Keraton Surakarta dibangun oleh Susuhunan Pakubuwono II sebagai pengganti Keraton Kartasura yang hancur akibat Geger Pecinan pada 1743. Geger Pecinan merupakan peristiwa pemberontakan etnis Tionghoa dan beberapa tokoh di Jawa untuk mengusir VOC dan juga perlawanan terhadap Kerajaan Mataram yang saat itu bersekutu dengan VOC.
Keraton Kartasura mengalami kehancuran akibat pertempuran tersebut. Bagi kepercayaan masyarakat Jawa, keraton yang pernah jatuh ke tangan musuh telah kehilangan kesakralannya sehingga harus dipindahkan ke tempat yang baru. Didirikanlah Keraton Surakarta yang masih berdiri hingga saat ini. Saat ini Keraton Surakarta dipimpin oleh Pakubuwono XIII.
Seperti kita ketahui bersama selain Keraton Solo, berjarak sekitar 65 Km terdapat Keraton Yogyakarta yang berasal dari silsilah yang sama, yaitu Kerajaan Mataram Islam. Kedua kerajaan ini terpisah melalui Perjanjian Giyanti tahun 1755 akibat perebutan kekuasaan di antara keturunan Raja Amangkurat IV.
Kerajaan Mataram dibagi 2 yaitu Kasunanan Surakarta yang dipimpin oleh keturunan Pakubuwono II dan Kasultanan Yogyakarta yang dipimpin oleh Pangeran Mangkubumi atau Sultan Hamengkubuwono I. Pakubuwono II dan Pangeran Mangkubumi adalah kakak beradik putra Amangkurat IV.
Lahirnya Perjanjian Giyanti tidak lepas dari campur tangan VOC yang mengadu domba keturunan dari Kerajaan Mataram ini agar kekuatannya melemah dalam melakukan pemberontakan. Perjanjian Giyanti ditandatangani oleh Pangeran Mangkubumi, Pakubuwono III dan VOC.
Meninggalkan Pelataran dan Museum keraton, kami melanjutkan berkeliling area keraton. Bertemu dengan Kebo Bule yang sedang berendam di Alun-alun Selatan. Hewan yang disakralkan ini memiliki tugas utama sebagai pengawal pusaka keraton pada kirab malam 1 Syuro. Selanjutnya kami melewati jalan yang kiri kanannya dulu merupakan tempat tinggal prajurit keraton, selir raja dan beberapa bangunan bersejarah lainnya.
Beberapa pemanfaatannya sudah untuk Masyarakat umum, seperti yang diceritakan bapak tukang becak, rumah prajurit zaman dulu sudah disewakan untuk tempat tinggal masyarakat biasa. Beberapa bangunan juga ada yang sudah menjadi milik pribadi seseorang. Kurang lebih satu jam waktu yang diperlukan untuk berkeliling secara singkat di wilayah Keraton Solo ini. Sebuah penyegaran Mata Pelajaran Sejarah yang sedari dulu sangat sulit dihafalkan.