Perdebatan sidang sengketa Pilpres 2024 di gedung MK beberapa waktu lalu, antara Romo Franz Magnis Suseno dan Yusril Ihza Mahendra yang berlanjut dalam perbincangan publik, memiliki sisi lain yang menarik diperhatikan.
Lagi-lagi etika dan moralitas menjadi pokok pembahasan dalam perdebatan tersebut. Catatan tentang sikap Presiden Joko Widodo soal keterlibatannya dalam pemilu kemarin, kembali dibahas dalam sidang perselisihan hasil pemilu presiden dan wakil presiden kali lalu. Selaku saksi ahli Tim Hukum Ganjar-Mahfud, Romo Magnis mengulas banyaknya kecacatan moral dalam kontestasi tersebut baik menjelang hingga berjalannya pemilu.
Salah satu pembahasan yang disampaikan oleh Romo Magnis adalah soal etika dan penguasa. Bagi seorang presiden tidak cukup ia disebut baik hanya ketika ia tidak melanggar hukum. Standar etika yang tinggilah yang dimaksud Romo Magnis harus dimiliki oleh seorang penguasa.
Dalam konteks tersebut Romo Magnis tidak sedikit mendapat respons negatif pasca sidang sengketa hasil pemilu. Banyak di antaranya yang menyayangkan, bahkan mencibir sikap Guru Besar Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara dan rohaniwan yang sangat dihormati tersebut. Lalu bagaimana mungkin mengungkapkan pelanggaran moral, dapat dipandang sebagai sikap yang tidak bermoral? Hal ini mungkin bisa dipahami dari latar belakang Romo Magnis dan ketidakkonsistenan beliau terhadap Jokowi.
Secara pribadi saya tetap menaruh standpoint yang tegas dengan membangun sikap kritis terhadap cawe-cawe politik Presiden Joko Widodo. Namun, tulisan ini juga tidak bermaksud dibuat semata-mata untuk membela Romo Magnis.
Setelah melewati keriuhan politik ini, perbincangan tentang moral politik semakin terasa menjenuhkan. Mungkin saja kejenuhan ini datang dari keseharian perpolitikan kita yang sudah terlalu banyak dihiasi dengan bualan-bualan moral dan drama-drama tidak jelas.
Mengendalikan Moral Publik
Bagaimana kalau dikatakan bahwa moral itu dapat dikendalikan? Pertanyaan selanjutnya, lalu siapa yang mengendalikannya dan untuk apa hal yang dirasa mustahil itu dilakukan? Mungkin terlalu jauh dan berlebihan untuk membangun pertanyaan semacam ini. Namun, kenyataan-kenyataan lain yang juga dikendalikan semacam opini publik dapat menjadi salah satu pintu masuk hal itu mungkin saja terjadi.
Sebelum kembali ke situ, kita perlu sedikit memahami kembali tentang moralitas. Immanuel Kant adalah filsuf yang banyak membahas tentang etika dan moral. Terlepas bahwa dirinya juga dianggap tokoh yang cukup rasis terhadap orang-orang kulit hitam, seperti dalam beberapa karya yang ditulisnya Von den verschiedenen Racen der Menschen (Perihal Perbedaan Ras Manusia).
Dalam filsafat moralnya tentang etika deontologis, Kant menyebut bahwa etika adalah sesuatu yang perlu dipisahkan dari unsur rasional, sebab etika sudah tertanam dalam diri manusia. Artinya seseorang berbuat baik karena kebaikan itu sudah ada dalam dirinya dan merupakan suatu kewajiban. Pendekatan etika deontologis inilah yang juga banyak dipakai oleh Romo Magnis dalam analisis filosofisnya.
Menyorot pada konteks perdebatan pemilu ini, rasa-rasanya memang ada yang luput dari analisis tentang moral saat ini. Jika moral memang sudah dimiliki oleh setiap orang, lalu mengapa persoalan pelanggaran etika berat oleh seorang presiden justru memicu perdebatan panjang. Kita tidak lagi wajib menggunakan Kant untuk menjawab soal ini.
Saya mengira bahwa etika dan moralitas masih menjadi bagian penting yang dipegang oleh masyarakat kita. Sayangnya, moralitas sebagai bagian dari norma masih banyak dipahami secara umum sebagai karakteristik persona. Misalnya saja, sikap lembut hati, sopan santun, dan penyabar. Suatu yang perlu dibedakan dalam kategorisasi normatif. Sementara di lain sisi, sikap kritis dengan nada tajam justru dinilai sebagai perilaku yang tidak bermoral.
Sedikit aneh memang, jika melihat fenomena semacam ini terjadi. Dengan bahasa yang cukup sulit dimengerti, pemikiran Žižek tentang cara subjek memandang realitas yang berbeda-beda menarik digunakan. Dalam The Sublime Object of Ideology, Žižek menjelaskan ideologi adalah serangkaian wacana yang mendorong gagasan-gagasan palsu kepada masyarakat. Ketika orang menerima ide-ide palsu ini, mereka mengembangkan "kesadaran palsu" tentang dunia di mana mereka tinggal di dalamnya.
Dari pemahaman tersebut, kita dapat mengacu pada suprastruktur yang menjadi tempat ideologi itu diproduksi dan didistribusikan. Sederhananya dapat dilihat pada produk politik apa yang dihasilkan dan narasi apa yang paling sering ditampilkan. Kondisi ini membuat kita kesulitan tiba pada kesadaran moral yang dapat dimaknai secara universal.
Apalagi sungguh sulit memang menerima fakta bahwa orang yang kita kira baik secara moral, justru melakukan hal yang sebaliknya fatal. Mengingat banyak dari kita mengenal, hingga mencintai sosok pemimpin kita dengan apa yang diproyeksikan lewat media-media sosial atau media konvensional. Dengan citra penyabar dan pemaaf ketika banyaknya nada-nada cibiran dialamatkan padanya.
Paradoks Moral
Bagaimana jika bantuan sosial yang dikeluarkan oleh presiden menjelang pemilu kemarin, justru dapat dipandang sebagai praktik moral itu sendiri bagi mereka yang menerima manfaat. Ini tentu bakal sulit dipahami oleh mereka-mereka yang telah tercerahkan, termasuk oleh saya sendiri. Terlebih jika kita mengkaitkan soal kuatnya unsur politisasi bansos di dalamnya.
"Jika kamu membunuh kecoa kamu adalah pahlawan, jika kamu membunuh kupu-kupu kamu adalah orang jahat. Moralitas pada kenyataannya memiliki standar estetika". Kalimat Nietzsche yang cukup menohok ini semakin membuat paham tentang moralitas terkesan membingungkan, tetapi di sisi lain cukup memberikan tamparan segar.
Jika kita mengacu pada pemikiran Lawrance Kohlberg tentang tahap perkembangan moral, mungkin kita bisa melihat bahwa moralitas dapat menjadi begitu abstrak. Sebelum moral mencapai pada tahap universal, terdapat tahap moral yang disebut Kohlberg sebagai moralitas pasca-konvensional. Tahap ini dipahami ketika seseorang mengambil keputusan berdasarkan apa yang mereka anggap benar, bukan sekadar mengikuti aturan masyarakat.
Dengan kata lain, subjektivitas moral yang abstrak dapat menjadi begitu dominan. Ini juga sebabnya persoalan etika dan moral dalam sengketa hasil pemilu tidak memiliki level kadar moral yang berarti pada sudut pandang orang tertentu. Mengejutkannya adalah sudut pandang itu merupakan sudut pandang dominan oleh mereka yang telah memberikan suara terbanyak.
Situasi semacam ini juga tidak lepas dari watak politik kita yang terlalu banyak diisi dengan tumpukan pelanggaran etika dan hukum. Berteriak atas nama moral ketika tidak berkuasa, namun melanggar moral ketika berkuasa. Sebuah anomali yang khas dengan wajah perpolitikan saat ini.
Apa pun hasilnya, apa yang tengah terjadi sarat dengan kecacatan moral. Meskipun dengan nada yang cukup pesimis bahwa hampir mungkin keputusan tidak bakal berubah. Selayaknya berendam di lautan fakta, nurani yang murni tidak pernah dapat disangkal. Mengutip Pramoedya Ananta Toer "kebenaran akan selalu hidup, walaupun tidak ada yang memperjuangkannya".