TEMPO Interaktif, Yogyakarta -
...Matahari terbit
fajar tiba
dan aku melihat delapan juta kanak-kanak
tanpa pendidikan...
Ditulis di Bandung tahun 1978, sajak Sebatang Lisong karya almarhum Willibrordus Surendra Bawana Rendra atau yang lebih dikenal dengan W.S. Rendra itu dibacakan Untung Basuki di Pendopo Karta Pustaka Yogyakarta, Minggu, 7 Agustus 2011 malam kemarin. Suaranya sedikit bergetar. Maklum, di depannya, seratusan orang lebih pengunjung datang menyaksikan. Mereka menempati kursi di pendopo hingga berdiri berjejalan di pelataran.
"Acaranya mengalir, tiba-tiba saja banyak dukungan yang datang," kata Untung, yang juga sekaligus Ketua Panitia Peringatan Dua Tahun Meninggalnya WS. Rendra, sesaat sebelum membacakan puisi.
Benar saja, dalam catatan rundown acara terlihat ada 20 item yang dijadwalkan dalam acara yang baru dimulai pukul 20.30 WIB itu. Dari pembacaan puisi karya WS. Rendra, testimoni hingga tausyiah. Acara itu menjadi semacam momentum bagi mereka yang mengenal dan mengagumi Rendra untuk kembali mengenang Si Burung Merak. "(Rendra) banyak umatnya," kata Direktur Karta Pustaka Anggi Minarni dalam sambutannya.
Ya, pengunjung yang datang malam itu memang tak hanya berasal dari Yogyakarta. ES Wibowo misalnya. Penggiat seni asal Magelang itu datang ke Yogyakarta bersama sejumlah rekannya khusus untuk menghadiri acara. "Tadi membawa mobil," kata dia.
Lahir di Solo, 7 November 1935, Rendra meninggal dunia di Depok pada 6 Agustus 2009 silam. Jasadnya dimakamkan di Tempat Pemakaman Umum Bengkel Teater Rendra, Depok. Semasa hidup, Rendra juga pernah mendirikan Bengkel Teater di Yogyakarta pada 1967.
Sastrawan muda Yogyakarta, Raudal Tanjung Banua, mengatakan tak lama mengenal Rendra. Namun bagi dia, perjumpaan yang singkat itu memiliki kesan yang mendalam karena sebelumnya telah mengenal Rendra melalui karya-karyanya.
Bakdi Sumanto, budayawan dan guru besar Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, punya kenangan yang lain tentang Rendra, rekannya sesama berkecimpung di seni teater.
Suatu kali, Bakdi bertanya pada Rendra tentang konsepnya berteater yang minim kata dan dianggap banyak orang sebagai hal aneh. Bahkan, akademisi dari kampus negeri di negeri ini menyebutnya sebagai aksi orang gila. Dengan enteng, Rendra menanggapi bahwa apa yang dia lakukan merupakan cara menyampaikan pesan yang terungkap lewat kata.
Menurut Bakdi, banyak hal yang dia pelajari dari Willy, demikian dia biasa menyapa Rendra. Di antaranya adalah bagaimana kondisi sosial masyarakat dapat diangkat menjadi inspirasi seni. Namun di antara banyak kenangannya dengan Rendra, satu yang terus teringat hangat dalam benak Bakdi. "Tanpa ikut Mas Willy, saya tidak akan lulus disertasi," kata dia.
ANANG ZAKARIA