JAKARTA--MICOM: Undang-undang (UU) nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan telah memberikan rambu-rambu yang cukup memadai guna memberikan jalan keluar bagi suami istri apabila tidak dapat mempertahankan kerukunan dalam rumah tangga.
Demikian disampaikan Kepala Badan Penasihatan Pembinaan dan Pelestariain Perkawinan (BP4) Kementerian Agama Tulus Sastrowidjojo dalam sidang pleno pengujian UU Perkawinan di Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Selasa (9/8).
Pengujian UU tersebut dimohonkan oleh Halimah Agustina, mantan istri Bambang Trihatmodjo. Halimah menggugat materi Penjelasan Pasal 39 ayat 2 huruf f mengenai alasan perceraian karena pertengkaran terus menerus. Bagi Halimah ketentuan tersebut telah merugikan hak konstitusionalnya yang dijamin Pasal 28D ayat 1 dan Pasal 28H ayat 2 UUD 1945.
Penjelasan tersebut menyatakan antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah-tangga. Hal serupa pun tertuang dalam Pasal 116 huruf f Kompilasi Hukum Islam (KHI).
Dalam sidang dipimpin oleh Ketua MK Moh Mahfud MD, Tulus menyatakan berdasarkan pasal 39 ayat 1 perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan. Itupun, katanya, setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.
"Ketentuan ini menunjukkan bahwa perceraian merupakan jalan terakhir yang harus ditempuh apabila kedua belah pihak tidak dapat mempertahankan keutuhan rumah tangganya," ujarnya.
Sedangkan ayat 2 dalam pasal tersebut, kata Tulus, menyatakan suatu perceraian harus berdasarkan cukup alasan bahwa antara suami istri itu tidak akan dapat rukun dalam perkawinannya.
Dia menegaskan bahwa pasal yang diujikan tersebut tidak bertentangan dengan pasal 28D ayat 1 dan Pasal 28H ayat 2 UUD 1945.
"Permohonan Halimah adalah terkait implementasi praktek penegakkan hukum yang dilakukan oleh penegak hukum, dalam hal ini hakim pada Pengadilan Agama, dan bukan merupakan persoalan konstitusionalitas," kata Tulus.
Sementara itu Ketua Dewan HAM PBB di Genewa Makarim Wibisono menyatakan konsep dalam penjelasan pasal tersebut bertentangan dengan konsep hak asasi manusia. Konsep yang disebutkan dalam huruf f, kata Makarim, telah merugikan kaum perempuan dan isteri karena tidak memberi keadilan dan mencerminkan ketidaksamaan hak bagi kaum perempuan dan isteri dengan hak suami.
"Kaum perempuan dan isteri tidak dilindungi sama sekali oleh ketentuan huruf f tersebut, sehingga tidak memberi kepastian hukum kepada kaum perempuan dan istri pada masa depan hubungan suami-isteri tersebut," tukas pria yang hadir sebagai ahli yang diajukan pemohon tersebut.(*/X-12)