TEMPO Interaktif, Jakarta - Markas Besar Kepolisian RI mengaku belum menyiapkan tim penjemput istri Nazaruddin, Neneng Sri Wahyuni. Sebab informasi pasti keberadaan bersangkutan belum diperoleh polisi. "Masih menunggu pengumpulan informasi dari Interpol dan koordinasi dengan Komisi Pemberantasan Korupsi," kata Kepala Bidang Penerangan Umum Polri, Komisaris Besar Polisi Boy Rafli Amar, kepada wartawan di Markas Besar Polri. di Jalan Trunojoyo, Minggu 21 Agustus 2011.
Sebelum benar-benar menjemput, Polri akan mengecek kebenaran informasi yang diperoleh Interpol melalui tim yang disebut Boy sebagai tim advance. Tim inilah yang nantinya lebih dulu menyambangi negara tempat persembunyian dan mengkonfirmasi laporan. Jumlah anggota tim penjemput dari Polri secara keseluruhan dapat mencapai 14 orang. Tim penjemput Polri, seperti dalam kasus penjemputan Nazaruddin di Kolombia, akan bekerja sama dengan KPK, Kementerian Luar Negeri, dan Kementerian Hukum dan HAM.
Menurut Boy, pihaknya tidak bergerak berdasarkan informasi yang belum jelas. "Kalau kita bergerak kemana-mana belum ada informasi yang jelas, repot itu," tambah dia. Polri menanti informasi yang benar-benar tepat dan akurat seputar keberadaan Neneng. "Misalnya terekam di CCTV (closed circuit television) dia sedang mengantri di loket tiket, baru (bergerak)," ujar Boy.
Dikonfirmasi soal keberadaan Neneng di Malaysia, Boy mengatakan belum bisa mengomentari. "Nanti kalau sudah nyata-nyata, sudah jelas," kata dia. Di Dominika, Boy mengaku sempat mendeteksi keberadaan Neneng bersama Gareth Lim Eng Kian dan Rahmat Nasir. Tetapi, berhubung saat itu Neneng belum masuk red notice Interpol, pihaknya tak dapat melakukan apapun untuk menangkap dia. Nama Neneng baru terdaftar dalam buronan Interpol pada Jumat 19 Agustus lalu.
Neneng kini menyandang status tersangka korupsi proyek pembangkit listrik tenaga surya di Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Dia diduga terlibat proses subkontrak proyek dari rekanan PT Alfindo Nuratama Perkasa kepada PT Sundaya Indonesia. Akibat proyek itu, negara rugi Rp 3,8 miliar dari nilai kontrak Rp 8,9 miliar.
ATMI PERTIWI