JAKARTA--MICOM: Sistem produksi dan pemasaran dalam dunia perunggasan di Indonesia dinilai masih sangat rentan terhadap risiko terkena paparan wabah berbagai penyakit menular.
"Penyakit yang menyerang unggas memang tidak melulu dapat hinggap di manusia. Namun tetap saja bakal berpengaruh pada hasil akhir dari industri perunggasan secara bermakna," sebut Ketua Umum Asosiasi Dokter Hewan Perunggasan Indonesia (ADHPI) Dedy Kusmanagandi pada diskusi panel tentang 'Masa Depan Industri Unggas di Indonesia' yang diprakarsai oleh Indonesia Dutch Partnership (IDP) di Jakarta, Rabu (10/8), petang lalu.
Sebagai gambaran, lanjut Dedy, setiap harinya tidak kurang 800 ribu unggas hidup dipasok ke Jabodetabek.
Sebagian besar unggas didistribusikan lewat jasa layanan kolektor menggunakan fasilitas rumah potong kecil dan pasar tradisional yang umumnya tidak memenuhi syarat keamanan kesehatan unggas.
Selain itu, sejumlah besar unggas dipasarkan dalam keadaan hidup. Walhasil, risiko penularan penyakit antara satu daerah endemis dengan wilayah lainnya jadi meningkat.
Sistem pemasaran seperti itu, menurut dia, dapat berkontribusi dalam menciptakan kesehatan lingkungan.
Ditambahkan, pada bidang produksi, khususnya ada sektor peternakan skala kecil (UMKM), Dedy mengatakan umumnya memiliki perlindungan bio-security yang masih rendah.
Menurutnya, kekisruhan ini mesti segera dibenahi jika negara tidak ingin peristiwa wabah patogenik H5N1 (flu burung) pada 2003 kembali merebak.
Dedy juga menyesalkan upaya restrukturisasi tata operasional industri unggas dengan berdasarkan pada pola pengendalian wabah belum juga berjalan. Hingga kini, sambungnya, rencana untuk memiliki sistem produksi yang modern belum juga terealisasi. (Tlc/OL-10)