Kepercayaan bahwa perempuan lebih multitasking dibandingkan dengan laki-laki sudah lama beredar dalam masyarakat dan sering dianggap dengan fakta ilmiah. Istilah multitasking ini mengacu pada kinerja setidaknya dua tugas yang dilakukan secara bersamaan secara temporal, seperti mengemudi sambil menelepon, hal ini sering disebut sebagai dual-tasking. Kegiatan melakukan tugas secara berpindah-pindah, meskipun pada satu waktu hanya satu tugas yang dilakukan, seperti terus-menerus beralih antara menulis email dan menjawab panggilan telepon, hal tersebut juga disebut sebagai task switching. Steorotip ini muncul dari kehidupan sehari-hari, sehingga banyak orang meyakini hal tersebut tanpa mempertanyakan kebenarannya. Tetapi, anggapan tersebut sebenarnya lebih mengarah pada pseudoscience, yaitu keyakinan yang tampak ilmiah tetapi tidak memiliki dasar penelitian yang kuat.
Fakta Para Peneliti
Para penelitian menunjukkan bahwa manusia tidak benar-benar bisa mengerjakan dua tugas kompleks sekaligus. Otak hanya mampu berfokus pada satu tugas dalam satu waktu, sementara tugas lain menunggu giliran. Apa yang terlihat sebagai multitasking sebenarnya adalah task switching, yaitu berpindah cepat antar tugas. Pola ini justru dapat menurunkan efektivitas dan meningkatkan risiko kesalahan, baik pada perempuan maupun laki-laki. Dengan kata lain, "keunggulan multitasking perempuan" hanyalah persepsi yang diperkuat oleh stereotip sosial, bukan kemampuan biologis bawaan.
Fakta empiris mendukung bahwa stereotip ini tidak berdasar. Dalam sebuah penelitian, sekitar 50% partisipan dan 80% dari mereka yang percaya pada perbedaan gender meyakini bahwa perempuan lebih unggul dalam multitasking dibanding laki-laki. Banyak media populer dan buku non-ilmiah menguatkan hal tersebut dengan menyebut perempuan lebih mampu mengelola pekerjaan rumah, mengasuh anak, dan tetap aktif dalam pekerjaan kantor. Beberapa argumen bahkan menggunakan teori evolusi, seperti hipotesis pembagian kerja pada masa pemburu-pengumpul, laki-laki diasumsikan unggul dalam tugas berbasis spasial karena peran mereka sebagai pemburu, sementara perempuan dianggap lebih baik multitasking karena peran mereka dalam pengasuhan dan pekerjaan rumah tangga. Namun, hingga saat ini, tidak ada bukti ilmiah yang mendukung bahwa peran evolusi ini benar-benar menghasilkan kemampuan multitasking yang superior pada perempuan.
Selain itu, menarik dicatat bahwa dalam penelitian tersebut, 64% partisipan yang percaya perempuan unggul multitasking menyebut alasan rumah tangga dan pengasuhan anak. Namun, 73% dari mereka juga percaya bahwa perempuan tanpa anak tetap lebih baik multitasking, menandakan bahwa stereotip ini dianggap sebagai faktor bawaan, bukan sekadar hasil pengalaman. Pandangan semacam ini memperkuat mitos yang tidak ilmiah dan mempengaruhi persepsi masyarakat.
Contoh menarik yang sering dikutip adalah narasi populer tentang perempuan yang bisa memasak sambil mengawasi anak dan membalas pesan secara bersamaan. Sementara narasi seperti ini terdengar meyakinkan, penelitian menunjukkan bahwa saat orang melakukan banyak tugas sekaligus, performa mereka menurun dibanding ketika fokus pada satu tugas. Dengan kata lain, yang tampak sebagai multitasking hanyalah persepsi bahwa perempuan memang berpindah-pindah antara banyak kegiatan, tetapi tidak berarti mereka menyelesaikan semua tugas tersebut lebih cepat atau lebih baik.
Gambar otak yang menunjukkan pola aktivitas perempuan dan laki-laki semakin memperjelas hal ini. Gambar tersebut menggambarkan bahwa otak perempuan lebih sering berpindah-pindah antara berbagai aktivitas, sehingga terlihat seperti multitasking. Sementara itu, otak laki-laki cenderung lebih fokus pada satu kegiatan hingga selesai. Dengan interpretasi yang keliru, pola ini sering dijadikan "bukti" bahwa perempuan lebih multitasking. Padahal, para ahli saraf menekankan bahwa perbedaan ini hanyalah variasi normal dalam cara otak bekerja, bukan indikator kemampuan superior. Otak perempuan yang "lebih berpindah-pindah" sebenarnya menunjukkan kecenderungan untuk beralih antar tugas, bukan kemampuan menyelesaikan banyak tugas sekaligus dengan lebih efisien.
Dampak Pseudoscience dalam Kehidupan Sehari-hari
Dampak dari pseudoscience ini nyata. Ketika masyarakat percaya perempuan secara alami multitasking, mereka cenderung dibebani lebih banyak tugas, baik di rumah maupun di tempat kerja. Stereotip ini juga merugikan laki-laki, karena kemampuan mereka dalam fokus pada satu tugas sering diremehkan. Padahal, kemampuan menyelesaikan tugas dengan konsentrasi tinggi sama pentingnya dengan kemampuan berpindah antar tugas. Selain itu, menganggap multitasking perempuan sebagai keunggulan biologis memperkuat stereotip gender dan mengabaikan variasi individu. Setiap orang memiliki kapasitas perhatian dan strategi manajemen tugas berbeda-beda, terlepas dari jenis kelamin. Penelitian menunjukkan bahwa kemampuan multitasking lebih dipengaruhi oleh pengalaman, latihan, dan konteks tugas, bukan faktor biologis bawaan.
Kesimpulan Stereotip Multitasking Perempuan
Dengan demikian, kepercayaan bahwa perempuan lebih multitasking adalah bentuk pseudoscience psikologi. Tidak ada bukti empiris yang mendukung bahwa perempuan lebih multitasking dibandingkan laki-laki, sementara stereotip yang menyertainya dapat menimbulkan bias gender dan ketidakadilan sosial. Penting bagi masyarakat untuk memahami bahwa multitasking ialah menyelesaikan beberapa tugas secara simultan dengan kualitas tinggi, tidak dimiliki oleh siapapun, dan apa yang terlihat sebagai multitasking hanyalah hasil berpindah-pindah antar tugas. Mengedepankan pemahaman ilmiah dan kritis terhadap stereotip gender dapat membantu menyeimbangkan ekspektasi terhadap perempuan dan laki-laki serta mendorong kesetaraan yang nyata.