Mengapa Perempuan Jadi Kelompok Paling Rentan dalam Situasi Bencana? - juandry blog

Halaman ini telah diakses: Views
kumparan - #kumparanAdalahJawaban
 
Mengapa Perempuan Jadi Kelompok Paling Rentan dalam Situasi Bencana?
Dec 6th 2025, 16:37 by kumparanWOMAN

Perempuan korban bencana banjir dan longsor Sumatra. Foto: Willy Kurniawan/REUTERS
Perempuan korban bencana banjir dan longsor Sumatra. Foto: Willy Kurniawan/REUTERS

Bencana banjir besar yang melanda wilayah Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat meninggalkan luka mendalam bagi para korban. Di antara 1,2 juta warga dari 50 kota/kabupaten yang tergusur akibat banjir, para perempuan pun menjadi salah satu pihak yang paling terdampak.

Sudah menjadi rahasia umum bahwa kehidupan perempuan semakin sulit ketika dihadapkan dengan situasi bencana. Hal ini diungkapkan langsung oleh Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Menteri PPPA) Arifah Fauzi saat berkunjung ke posko pengungsian banjir di SD Negeri 02 Cupak Tangah, Kota Padang, Sumbar.

"Saya bersama tim melakukan kunjungan ke lokasi bencana di Kota Padang, Sumtera Barat, untuk menyapa korban, khususnya perempuan dan anak yang juga merupakan kelompok yang paling rentan dalam situasi bencana," ucap Arifah dalam keterangan resminya, Senin (1/12).

Dia pun mengatakan, KemenPPPA sudah berkoordinasi dengan dinas pengampu isu perempuan dan anak untuk memastikan kondisi para perempuan dan anak korban bencana.

7 alasan perempuan jadi pihak paling terdampak bencana

Perempuan korban bencana banjir dan longsor Sumatra. Foto: Ajeng Dinar Ulfiana/Reuters
Perempuan korban bencana banjir dan longsor Sumatra. Foto: Ajeng Dinar Ulfiana/Reuters

Namun, apa alasannya perempuan menjadi kelompok paling terdampak, di saat ratusan ribu orang lainnya juga menjadi korban bencana? Di luar situasi bencana, kehidupan perempuan sudah kompleks akibat berbagai konstruksi sosial. Bencana kemudian mengamplifikasi rentetan tantangan yang dihadapi perempuan.

1. Stereotip peran gender yang dilekatkan

Menurut UN Women Indonesia Country Representative and Liaison to ASEAN, Ulziisuren Jamsran, salah satu penyebab perempuan sangat rentan dalam situasi bencana adalah stereotip peran gender yang dilekatkan.

"Perempuan adalah kelompok yang cenderung diharapkan untuk tetap diam di rumah. Ini tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga di situasi bencana lainnya. Banyak perempuan dan anak perempuan yang diam di rumah dan dibebankan dengan peran pengasuhan. Itulah mengapa, ketika bencana melanda rumah, perempuanlah yang paling terdampak," jelas Ulziisuren ketika diwawancarai kumparanWOMAN di Senayan, Jumat (5/12).

Hal senada diungkapkan oleh Asisten Deputi Perlindungan Hak Perempuan dalam Rumah Tangga, Kondisi Khusus, dan Situasi Darurat KemenPPPA, Dian Ekawati.

Menurut Dian, tanggung jawab domestik seperti pengasuhan anak dan perawatan lansia membuat mereka kesulitan bergerak cepat saat evakuasi. Tak hanya itu, mereka juga sering kali harus menunggu anggota keluarga laki-laki sebelum memutuskan mengungsi.

2. Jadi "penyangga terakhir" keluarga

Perempuan korban bencana banjir dan longsor Sumatra. Foto: Willy Kurniawan/REUTERS
Perempuan korban bencana banjir dan longsor Sumatra. Foto: Willy Kurniawan/REUTERS

Masih berkaitan dengan stereotipe peran gender, para perempuan diharapkan untuk menjadi pengasuh dan perawatan dalam situasi bencana. Misalnya, mereka dituntut untuk selalu memastikan anggota keluarga atau komunitasnya makan, tidak kelaparan, dan berlindung.

Namun, sering kali, mereka akan mengutamakan anggota keluarga atau orang lain terlebih dahulu. Alhasil, mereka justru mengorbankan dan mengabaikan kebutuhan diri sendiri.

3. Meningkatnya risiko kekerasan gender

Dalam situasi bencana, perempuan semakin rentan mengalami kekerasan berbasis gender. Menurut data yang disajikan KemenPPPA, risiko kekerasan pun bisa meningkat sampai 3–4 kali lipat.

Situasi krisis menyebabkan hilangnya privasi dan berkurangnya ruang aman. Oleh sebab itu, perempuan berisiko mengalami kekerasan fisik dan seksual, pelecehan di tempat umum seperti toilet dan pengungsian, eksploitasi seksual, bahkan perkawinan anak sebagai strategi pertahanan ekonomi keluarga.

4. Kebutuhan biologis dan kesehatan yang terabaikan

Perempuan korban bencana banjir dan longsor Sumatra. Foto: Ajeng Dinar Ulfiana/Reuters
Perempuan korban bencana banjir dan longsor Sumatra. Foto: Ajeng Dinar Ulfiana/Reuters

Terputus atau terbatasnya akses layanan kesehatan menyebabkan kerentanan pada perempuan, terutama perempuan hamil dan menyusui. Sejumlah media pun melaporkan insiden perempuan yang hendak melahirkan terpaksa ditandu untuk melewati jalanan yang rusak akibat banjir di Sumatra.

Tak hanya itu, kebutuhan nutrisi perempuan hamil dan menyusui pun berpotensi terganggu akibat kurangnya obat-obatan, layanan kesehatan, dan makanan bergizi.

Menstruasi pun menjadi tantangan tersendiri bagi perempuan. Sulitnya akses air bersih dan produk-produk menstruasi berpotensi menyulitkan para perempuan. Kebersihan yang kurang terjaga di situasi bencana juga bisa meningkatkan risiko gangguan kesehatan reproduksi.

5. Kesenjangan akses terhadap sumber daya dan informasi

Perempuan korban bencana banjir dan longsor Sumatra. Foto: Willy Kurniawan/REUTERS
Perempuan korban bencana banjir dan longsor Sumatra. Foto: Willy Kurniawan/REUTERS

Banyak perempuan yang tidak memiliki akses terhadap sumber daya dan informasi, seperti kepemilikan aset, akses ekonomi, serta akses informasi terhadap peringatan dini.

"Kesenjangan ini semakin memperburuk posisi mereka dalam situasi bencana, karena mereka memiliki sumber daya lebih sedikit untuk bertahan hidup atau mengambil keputusan," jelas Dian dalam wawancara tertulis dengan kumparanWOMAN.

Pemulihan ekonomi para perempuan pascabencana juga terhambat. Banyak perempuan yang bekerja di sektor informal, seperti berdagang dan sebagai pekerja rumah tangga. Bencana menyebabkan usaha kecil mereka terganggu, bahkan terhenti sepenuhnya. Ketika mereka tak punya modal, sulit untuk mereka bisa pulih secara ekonomi.

6. Tak dilibatkan dalam pengambilan keputusan

Perempuan korban bencana banjir dan longsor Sumatra. Foto: Willy Kurniawan/REUTERS
Perempuan korban bencana banjir dan longsor Sumatra. Foto: Willy Kurniawan/REUTERS

Perempuan sering kali tidak dilibatkan dalam pengambilan keputusan penting di situasi bencana. Ini menyebabkan suara mereka tak didengar, kebutuhan dasar perempuan tidak terpenuhi, dan bantuan yang datang pun tidak sesuai dengan kebutuhan mereka, seperti pembalut, obat-obatan, dan pakaian.

7. Bantuan yang kurang responsif gender

Dian menjelaskan, masih banyak bantuan sosial yang diberikan tanpa kacamata gender. Ketika bantuan diberikan tanpa mempertimbangkan kebutuhan perempuan, mereka akan sulit mengakses bantuan tersebut.

Contohnya, kurangnya ruang aman atau privasi di tempat pengungsian, toilet yang tidak dipisah antara laki-laki dan perempuan, sampai distribusi bantuan dilakukan di malam hari yang rawan kejahatan.

"Ketika sistem tidak mempertimbangkan kerentanan perempuan, risiko mereka otomatis meningkat," tegas Dian.

You are receiving this email because you subscribed to this feed at blogtrottr.com. By using Blogtrottr, you agree to our policies, terms and conditions.

If you no longer wish to receive these emails, you can unsubscribe from this feed, or manage all your subscriptions.
Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url