Heksagon Saturnus sebagaimana difoto oleh wahana Cassini. Foto: NASA/JPL-Caltech/SSI/Hampton
Teleskop Antariksa James Webb (James Webb Space Telescope/JWST) kembali membuat penemuan mengejutkan. Kali ini, instrumen canggih tersebut mendeteksi "dark beads" (butiran gelap) aneh yang melayang di atas pola bintang bercabang empat di atmosfer Saturnus.
Struktur ganjil ini benar-benar berbeda dari apa pun yang pernah dilihat ilmuwan astronomi, dan hingga kini masih belum diketahui apa penyebabnya. Penemuan tersebut dilakukan oleh instrumen Near Infrared Spectrograph (NIRSpec) milik JWST ketika mengamati atmosfer raksasa gas itu, tepat di atas badai heksagonal yang berputar di kutub utara Saturnus.
Awalnya, para astronom menduga akan melihat pancaran cahaya di berbagai spektrum inframerah pada lapisan atmosfer di atas pusaran badai. Namun yang muncul justru formasi seperti butiran gelap yang terpisah jauh satu sama lain, tapi kemungkinan saling terhubung, perlahan bergerak di plasma bermuatan di ionosfer Saturnus.
Di bawahnya, mereka juga mendeteksi pola bintang asimetris di stratosfer. Penemuan ini sudah dipublikasikan di jurnal Geophysical Research Letters pada 28 Agustus 2025.
"Temuan ini benar-benar mengejutkan. Fitur-fitur ini sama sekali tidak terduga dan untuk saat ini belum bisa dijelaskan," ujar Tom Stallard, profesor astronomi di Northumbria University, Inggris.
Badai heksagonal di kutub utara Saturnus pertama kali ditemukan oleh wahana Voyager pada 1980, lalu dipotret lebih detail oleh Cassini yang mengorbit planet bercincin itu pada 2004 hingga 2017.
Bintang miring di stratosfer (kiri) dan manik-manik gelap di ionosfer (kanan). Foto: NASA/ESA/CSA/Stallard dkk
Struktur badai ini berdiameter sekitar 29.000 kilometer dan berputar penuh setiap 10 jam. Ilmuwan meyakini badai tersebut digerakkan oleh arus jet yang mengelilingi kutub, dengan bentuk unik dipengaruhi komposisi gas atmosfer Saturnus. Namun alasan pasti mengapa badai ini berbentuk heksagonal masih menjadi misteri, begitu pula dinamika atmosfer atas yang berada di atasnya.
Untuk mengungkap rahasia ini, para astronom mengarahkan instrumen NIRSpec JWST ke ionosfer dan stratosfer Saturnus, masing-masing berjarak sekitar 1.100 km dan 600 km dari permukaan planet.
Selama 10 jam pengamatan, teleskop melacak molekul hidrogen bermuatan positif (H3+) di ionosfer serta molekul metana di stratosfer. Dari situlah muncul gambaran struktur misterius, butiran gelap dan pola bintang asimetris.
"Kami menduga butiran-butiran gelap ini hasil interaksi kompleks antara magnetosfer Saturnus dengan atmosfer berputarnya. Bisa jadi ini memberi petunjuk baru tentang bagaimana energi ditukar dan memicu aurora Saturnus," kata Stallard.
Ia juga menambahkan, pola bintang asimetris kemungkinan terkait dengan badai heksagonal.
"Yang menarik, butiran gelap di ionosfer tampak sejajar dengan lengan terkuat dari pola bintang di stratosfer. Namun belum jelas apakah keduanya benar-benar saling terhubung atau hanya kebetulan," ujarnya.
Tim peneliti berencana melakukan observasi lanjutan dengan JWST untuk memahami lebih jauh asal-usul fenomena ini. Saturnus kini tengah berada di titik ekuinoks, sehingga pola tersebut bisa berubah drastis seiring pergeseran cahaya matahari.
Pada 21 September 2025 kemarin, Saturnus berada pada jarak terdekat dengan Bumi. Ini menjadi momen terbaik bagi teleskop di seluruh dunia untuk mengamati planet bercincin dan mencoba mengurai misteri terbarunya. Jadi kita tunggu saja penelitian terbarunya.