Rizki Triana untuk Role Model kumparanWOMAN. Foto: Norman Fideli, Fashion Editor: Anantama Putra, Makeup: Linda Kusumadewi, Andreano Kusuma, Hairdo: Yuniarti Ningih, Wardrobe: Amanda Hartanto Batik & OE, Perhiasan: Samuel Wattimena x The Palace, Tulola.
Ladies, sebagian dari kamu mungkin belum banyak mendengar brand fashion bernama OE. Atau mungkin kamu mengenalnya melalui kolaborasi mereka dengan desainer Wilsen Willim lewat koleksi Siklus.
Padahal, OE sudah berdiri sejak 12 tahun lalu, tepatnya pada 2013. Awalnya, brand lokal ini didirikan oleh Rizki Triana dengan nama Oemah Etnik. Namun karena penyebutannya yang kadang sulit, perempuan yang lebih akrab disapa Kiki ini memutuskan untuk melakukan rebranding dan mengubah namanya menjadi OE.
Sejak didirikan, OE fokus menciptakan koleksi yang terbuat dari kain Indonesia, terutama batik dan tenun. Menariknya, Kiki sendiri tak memiliki latar belakang fashion. Ia adalah lulusan komunikasi, namun ia percaya bahwa fashion juga bisa menjadi medium untuk berkomunikasi sekaligus melestarikan budaya Indonesia.
Dengan keyakinan itu, Kiki pun berusaha untuk membawa batik lebih dekat ke generasi muda. Jika dulu batik identik hanya untuk acara formal, kini lewat OE, batik bisa dikenakan dalam kehidupan sehari-hari dengan gaya yang modern dan relevan.
Ia pun menjadi salah satu sosok perempuan muda yang membuktikan bahwa fashion bukan sekadar soal gaya, tetapi juga media untuk melestarikan budaya, salah satunya kain tradisional Indonesia.
Untuk mengetahui perjalanan Kiki dalam menjalankan OE, mari simak obrolan eksklusif kami dengan Rizki Triana di program Role Model.
Bagaimana awal perjalanan karier Anda hingga akhirnya mendirikan OE?
RT (Rizki Triana): Dulu Oemah Etnik atau sekarang namanya jadi OE, didirikan pada 2013, waktu saya masih kuliah. Jadi, awalnya saya dapat kesempatan untuk ikut salah satu batik trip ke pengrajin-pengrajin di Yogyakarta dan Solo.
Dari situ, saya mulai jatuh cinta dengan industri batik, dan merasa ada gap yang cukup besar antara batik yang berkualitas tinggi dengan minat generasi muda di kota-kota, yang saat itu sepertinya belum terlalu menyukai batik.
Melihat gap itu, saya merasa punya tanggung jawab untuk mempromosikan batik agar lebih dikenal dan diminati generasi muda.
Apa saja tantangan yang Anda alami selama membangun OE?
RT: Sebenarnya enggak terasa ya, karena tahun ini OE sudah berjalan 13 tahun, dan selama itu sudah banyak sekali tantangan yang dihadapi. Salah satunya, ternyata industri batik itu cukup unik.
Jadi, membuat retail fashion itu enggak mudah, apalagi setiap batik kan spesial dan berbeda-beda. Untuk mengembangkan OE kami membuat training untuk para pengrajin, membuat tips atau trik bisnis sendiri, supaya bisnis ini bisa lebih besar lagi.
Challenge yang paling besar adalah menemukan partner atau tim yang percaya dengan visi dan misi OE sejak awal. Tapi saya bersyukur sekarang semuanya berjalan lebih lancar karena tim OE sudah cukup kuat.
Rizki Triana untuk Role Model kumparanWOMAN. Foto: Norman Fideli, Fashion Editor: Anantama Putra, Makeup: Linda Kusumadewi, Andreano Kusuma, Hairdo: Yuniarti Ningih, Wardrobe: Amanda Hartanto Batik & OE, Perhiasan: Samuel Wattimena x The Palace, Tulola.
OE merupakan rebranding dari Oemah Etnik, boleh dijelaskan mengapa akhirnya memutuskan mengubah branding?
RT: Betul, sebenarnya simple banget. Di tahun ke-8 OE, kami merasa customer kita makin bertumbuh, saat ini OE nggak cuma melayani orang Indonesia tapi juga dari luar negeri. Nah, orang luar negeri cukup susah untuk spelling kata oemah, bahkan orang Indonesia saja kalau bukan orang Jawa mungkin juga sulit.
Jadi, kami merasa harus punya nama yang simple, lebih general, dan universal. Oleh karena itu, kami singkat jadi OE. Sekarang semua di toko, baik online atau offline, di media sosial semuanya jadi OE dan itu lebih gampang untuk diingat dan lebih catchy.
Selama menjalankan bisnis atau berkarier, prinsip seperti apa yang diterapkan?
RT: Prinsipnya sederhana, aku memang bukan orang bisnis dari awal. Jadi menurut aku, yang paling penting adalah integrity dan gimana memastikan bisnis yang kami jalani itu berdampak, baik buat internal maupun eksternal.
Jadi, selama maksudnya baik, selama visi misinya baik, saya yakin kami bisa dipertemukan dengan orang-orang yang akan membantu kami mencapai setiap goal yang ingin kami capai dalam berbisnis. Dengan keyakinan itu, saya bisa menjalani OE kurang lebih 13 tahun belakangan ini.
Saat awal membangun bisnis, apa yang membuat Anda memilih batik sebagai salah satu kekuatan brand Anda?
RT: Karena di pengalaman pertama, yang aku datangi memang pengrajin batik. Kebetulan, saat itu UNESCO baru mengukuhkan batik punya Indonesia. Aku merasa batik adalah harta kekayaan yang sangat berharga.
Jadi, rasanya ini (batik) adalah sesuatu untuk diperjuangkan dan dilestarikan. Salah satunya dengan membuatnya tetap relevan dengan desain modern, sehingga pesannya bisa sampai ke pemakainya. Batik juga merupakan intangibleheritage yang punya filosofi-filosofi dan itu biasanya yang menggerakkan pemakainya.
Sejumlah model memperagakan busana karya dari Oemah Etnik pada saat Jakarta Fashion & Food Festival (JF3) Fashion Festival ke-18 di Jakarta, Sabtu (3/9/2022). Foto: Henry Purba/ANTARA FOTO
OE kini hadir dengan model yang modern, apakah ini dibuat berdasarkan tren fashion?
RT: Jujur, OE itu tidak bermain di ranah fast fashion, ya. Jadi yang pertama kami lakukan saat membuat koleksi itu bahkan bukan melihat trennya apa. Karena kami selalu membuat desain 10 bulan sebelum produksi. Dan itu sudah pasti apa pun yang tren saat itu, sudah outdated saat kami rilis.
Hal pertama yang kami highlight bukan tren, tapi pesan yang ingin dibawa. Misalnya, untuk koleksi Lebaran tahun ini, prosesnya sudah dimulai tahun lalu, kami menentukan dulu spirit umum yang ingin dibawa.
Kami melihat sekarang ini orang ingin 'back to the roots', kembali ke akarnya masing-masing, baik dari keluarga atau tanah air, agar orang merasa lebih kuat ketika terhubung dengan akarnya.
Dari sana, baru kami turunkan menjadi simbol yang bisa merepresentasikan pesan tersebut, lalu diterjemahkan ke motif. Jadi, cara kerja OE tidak pernah berdasarkan tren, tapi selalu dari apa yang ingin kami komunikasikan saat launching koleksi.
OE jadi salah satu brand yang sering melakukan kolaborasi. Menurut Anda, seberapa penting kolaborasi di era sekarang?
RT: Sangat penting, bahkan salah satu core value OE adalah kolaborasi. Baik dalam koleksi, proses, maupun bisnis, semua sebaiknya dilakukan secara kolaboratif. Sebab kami percaya kalau mau berjalan jauh memang harus bareng-bareng.
Kalau ingin berjalan cepat, bisa dilakukan sendiri. Tapi kalau ingin berjalan jauh, membangun legacy, dan menciptakan sesuatu yang berdampak jangka panjang, itu akan lebih kuat jika dilakukan bersama. Jadi, kolaborasi bagi kami memang sudah menjadi bagian dari DNA.
Dulu aku merasa bisa handle semuanya sendiri, merasa seperti "superwoman", dan menanggung semua beban sendiri. Ternyata, jawabannya enggak seperti itu. Dari pengalaman itu, aku belajar pentingnya kolaborasi. Trust me bahwa gak bisa kita tuh kerja sendirian, dan jika semua orang berkumpul, saling melengkapi, hasilnya pasti lebih bagus.
Itu yang akhirnya membuat aku lebih "napak" sekarang, karena aku menyadari OE bukan tentang aku lagi, tapi tentang semua tim, customer, ekosistem, dan pengrajin.
Koleksi Siklus hasil kolaborasi OE dan Wilsen Willim. Foto: Dok. OE & Wilsen Willim
Biasanya dalam berbisnis seringnya ada persaingan. Kalau Anda sendiri merasa bersaing enggak dengan sesama desainer atau brand?
RT: Aku enggak pernah merasa orang lain itu kompetitor. Ini bagus sekaligus enggak bagus, karena jujur pekerjaanku sudah padat, bahkan enggak ada waktu untuk tengok kanan-kiri. Aku merasa pasar Indonesia, bahkan pasar global, sangat besar. Jadi, kalau kita merasa harus sikut-sikutan dengan brand lain, berarti dunia kita terlalu kecil.
Dengan mindset itu, aku enggak pernah melihat orang lain sebagai kompetitor. Bahkan di OE, aku sangat strict soal ini dalam membuat sesuatu, jangan sampai menyenggol siapapun.
Kami ingin menciptakan ekosistem yang sehat, berjalan bersama, tanpa menyakiti siapa pun, supaya semua bisa maju bareng.
Aku yakin dibutuhkan banyak brand, terutama di ranah etnik. Semakin banyak brand etnik yang besar, semakin baik pula untuk menunjukkan Indonesia ke pasar global.
Selama berkarier sebagai pebisnis fashion, apakah Anda pernah berada di titik terendah?
RT: Nah, aku termasuk orang yang cukup kuat. Kalau urusan bisnis, aku lumayan tegar. Mungkin karena sudah banyak ditempa oleh pengalaman bisnis. Intinya, setiap kali menghadapi masa sulit, saya tahu bahwa semua itu hanya sementara.
Baik masa senang maupun sulit, semuanya sementara. Jadi, saya enggak pernah terlarut dalam kesedihan atau tantangan berat. Semakin besar bisnis, tantangannya memang akan semakin besar.
Sekarang, ketika ada challenge atau masalah, mindset saya justru seperti "Ok, ini stage berikutnya, apa yang harus dilakukan untuk menghadapi ujian ini?". Jadi, mode aku selalu seperti itu. Memang setiap fase dalam bisnis punya tantangan tersendiri, dan itu harus dihadapi dengan perspektif bahwa semuanya bagian dari perjalanan.
Seperti apa healing journey Anda ketika menghadapi tantangan hidup?
RT: Sebenarnya OE yang mengajarkan aku untuk lebih bijaksana. Aku memulai bisnis dari usia cukup muda, jadi sudah banyak fase-fase di mana aku diremehkan, dipersulit, atau bahkan tidak dianggap sama sekali.
Jadi, itu semua sudah biasa aku alami. Dengan semua tantangan yang ditawarkan OE di awal perjalanan, somehow mental aku jadi lebih kuat.
Aku tahu goal-nya bakal kemana, dan aku yakin dampaknya bakal baik. Jadi, aku berjuang untuk itu. Dari bisnis justru aku banyak belajar, dan karena aku single founder, cara aku berkontemplasi lebih banyak sendiri, dengan Tuhan, secara spiritual, dan terus mencari visi hidup ini mau dibawa kemana, aku sudah berdamai dengan semua prosesnya.
Rizki Triana untuk Role Model kumparanWOMAN. Foto: Norman Fideli, Fashion Editor: Anantama Putra, Makeup: Linda Kusumadewi, Andreano Kusuma, Hairdo: Yuniarti Ningih, Wardrobe: Amanda Hartanto Batik & OE, Perhiasan: Samuel Wattimena x The Palace, Tulola.
Berawal dari batik, kemudian tenun, apakah OE ke depannya akan mengeksplor kain-kain lainnya?
RT: Kayaknya kami akan ngulik. Sebenarnya banyak banget kain yang OE sudah coba; kami pernah mencoba tapis Lampung, sering mencoba berbagai jenis tenun, baik dari Jawa maupun Bali.
Dari situ, akhirnya kami pilih kain yang kira-kira sesuai dengan DNA OE. Karena OE fokus pada ready-to-wear, casual, versatile, dan easy to wear, bukan yang harus dipakai khusus untuk acara formal. Kain-kain OE bisa dipakai sehari-hari, bahkan untuk travelling, dan berbagai aktivitas lain.
Jadi, akhirnya kami memilih tenun karena dirasa masih relevan dengan kebutuhan customer OE. Apakah akan stuck dengan dua jenis kain ini saja? Kayaknya enggak, selama kain tersebut termasuk dalam kategori Indonesian fabric.
Bagi kumparanWOMAN, Anda adalah role model. Bagaimana perasaan Anda mengenai ini?
RT: Perasaannya saat aku dipilih jadi role model versi kumparanWOMAN pastinya merasa dihargai. Selama ini aku fokus kerja, dan ketika ada media yang mengapresiasi, rasanya sangat terharu sekaligus bersemangat lagi untuk bisa berdampak lebih banyak dan berkarya lebih baik lagi.
Bagi Anda, siapa sosok role model yang jadi panutan?
RT: Role model di hidup aku banyak banget sih, jadi enggak bisa sebut satu. Tapi, yang aku sebutkan ini merupakan akumulasi dari perempuan-perempuan yang ada di dekatku. Ada ibuku, mertuaku, dan kembaranku.
Aku merasa dikelilingi perempuan-perempuan yang kuat, suportif, dan selalu memberi ruang bagi perempuan untuk terus berkarya.
Terus, kalau di bisnis juga aku punya banyak mentor perempuan hebat. Jadi memang aku beruntung banget bisa dikelilingi perempuan-perempuan luar biasa di sekitarku.
Terakhir, ada pesan buat perempuan muda atau siapapun yang mau mencoba berbisnis di industri fashion?
RT: Find your purpose, karena tanpa "why"-nya, tanpa tujuan yang jelas, perjalanan itu akan terasa berat. Apalagi di dunia fashion, bukan cuma soal fashion show atau launching koleksi saja. Di balik itu semua, prosesnya panjang banget.
Jadi, orang dengan tujuan yang kuat lah yang bisa melewati setiap fase dalam fashion. Jadi silakan temukan tujuannya.