Antara Mistik dan Nalar: Catatan dari Sebuah Percakapan di Kafe - juandry blog

Halaman ini telah diakses: Views
kumparan - #kumparanAdalahJawaban
 
Antara Mistik dan Nalar: Catatan dari Sebuah Percakapan di Kafe
Aug 2nd 2025, 18:51 by Moh Cholid Baidaie

Gambar dibuat oleh ai
Gambar dibuat oleh ai

Siang itu, cuaca menyengat seperti biasanya di hari-hari yang terlalu cerah. Udara panas seakan menolak untuk dibelah. Lelah usai rapat yang bertele-tele di kantor membuat langkah menuju kafe yang biasa saya singgahi terasa seperti mencari bayangan rindang di tengah hamparan lapang yang gersang. Di salah satu sudut kafe itu—yang semua temboknya dicat dengan warna hitam dan bau kopinya selalu terlalu pahit untuk mereka yang terbiasa dengan gula—seseorang sudah lebih dulu duduk. Seorang teman. Bersama seseorang yang belum pernah saya kenal.

Saya mengambil bangku yang sedikit menjauh. Tidak ingin mengganggu, tidak juga ingin terlalu dekat. Saat itu, saya hanya ingin duduk, mengangkat sedikit kaki dari tanah, menyulut rokok, dan menyesap secangkir kopi hitam—yang terlalu panas untuk ditenggak cepat, tapi terlalu hening untuk dibiarkan mendingin sendirian.

Namun, seperti yang sering terjadi di tempat umum, ruang pribadi selalu berbaur. Percakapan dua orang di depan saya, meski tidak ditujukan kepada siapa-siapa, telanjur menyusup masuk. Mereka berbicara tentang sesuatu yang ganjil. Tentang tokoh-tokoh nasional yang katanya, berguru ke Sumenep. Bukan belajar politik. Bukan juga soal kebijakan. Tapi tentang "pegangan".

"Jokowi dulu sering ke sana. Sekarang pertahanannya sudah rapuh, karena nggak lagi sowan," kata si teman dari teman saya. Suaranya tidak keras, tapi mantap. Sebentuk kepercayaan yang seperti sudah matang, tinggal menunggu waktu dituangkan.

Teman saya mengernyit. "Ah, masa sih? Memang harus begitu?"

"Lho, semua orang penting harus punya pegangan mistis. Kalau enggak, habis. Politik itu keras. Harus ada benteng gaib."

Saya tak tahu apakah saya sedang mendengar sebuah keyakinan yang tulus atau hanya sisa dari budaya takut yang turun-temurun. Tapi kalimat itu tidak kunjung lepas dari telinga. Bukan karena saya ingin ikut dalam percakapan. Tapi karena saya—mau tak mau—ikut mendengarnya. Seperti seseorang yang sedang berdiri di halte, lalu hujan datang tanpa peringatan. Tidak berniat kehujanan, tapi sudah telanjur basah.

Saya bukan orang yang sinis terhadap hal-hal gaib. Sebagai Muslim, saya percaya pada yang tak terlihat—karena memang sebagian dari iman bersandar pada itu. Tapi saya juga percaya bahwa sesuatu yang tak tampak tidak harus selalu menjadi jawaban dari segalanya. Dalam percakapan siang itu, saya teringat satu gagasan lama yang pernah dibicarakan seorang tokoh revolusioner: Tan Malaka.

Dalam bukunya yang berjudul Madilog, Tan Malaka menulis bahwa salah satu penghalang terbesar bagi kemajuan bangsa adalah cara berpikir yang ia sebut "logika mistika". Sebuah kecenderungan untuk menjadikan hal-hal gaib sebagai penjelasan atas segala sesuatu. Sebuah cara hidup yang menggantikan usaha dengan pengharapan, mengganti kerja keras dengan jimat, mengganti belajar dengan laku-laku tertentu yang tak bisa dijelaskan nalar.

Tan Malaka Muda. Foto: Istimewa
Tan Malaka Muda. Foto: Istimewa

Tan Malaka bukanlah tokoh yang sembarangan dalam menyuarakan nalar. Ia hidup dalam pergulatan pemikiran dan pengasingan. Maka, ketika ia bicara tentang mistik sebagai beban sejarah bangsa, ia tidak sedang main-main. Ia bicara sebagai orang yang pernah melihat harapan dikebiri oleh kepercayaan yang berlebihan pada hal-hal yang tak terlihat.

Tapi saya juga bukan orang yang mudah menertawakan yang gaib. Saya tumbuh dalam lingkungan yang percaya pada hal-hal yang tidak tampak. Dari kecil, saya diajari untuk percaya bahwa dunia ini tidak hanya terdiri dari yang bisa dipegang. Bahwa rukun iman mengajarkan: iman kepada yang gaib adalah fondasi. Bahwa doa, ruh, malaikat, surga dan neraka—semuanya tidak kasat mata. Tapi itulah dasar keyakinan.

Lalu saya jadi bingung sendiri. Di satu sisi, saya percaya bahwa alam semesta ini tidak hanya bisa diukur dengan rumus dan logika. Tapi di sisi lain, saya juga gelisah melihat bagaimana segala persoalan di negara ini kadang-kadang justru direspons dengan "pengobatan spiritual". Erupsi dianggap karena roh penunggu gunung marah. Kekalahan dalam pemilu disebut karena lawan memakai "isi".

Sementara jalanan rusak tetap tak diperbaiki. Sekolah-sekolah di desa tetap kekurangan guru. Dan rumah-rumah warga di pinggir kali tetap waswas tiap kali hujan deras.

Mungkin yang membuat saya resah bukan mistiknya, tapi cara kita menempatkan mistik dalam urusan publik. Seolah kekuasaan hanya bisa diraih dengan wirid tertentu. Seolah kemiskinan adalah nasib, dan bukan kegagalan negara. Seolah bencana bukan karena deforestasi, tapi karena leluhur marah.

Teman saya, yang biasanya keras kepala, tampak setengah percaya. Lalu obrolan mereka pindah ke hal-hal lain: pekerjaan, keluarga, dan tentang anak tetangga mereka yang katanya bisa melihat makhluk halus.

Saya tetap diam. Tapi di kepala saya, banyak suara berdengung. Tentang bagaimana sebuah bangsa bisa tumbuh jika ia terus hidup dalam bayang-bayang kekuatan tak terlihat. Bukan sebagai bentuk iman, tapi sebagai cara berpikir yang menunda tanggung jawab.

Dalam Islam, percaya kepada yang gaib adalah bagian dari keimanan. Tapi itu tidak berarti menyerahkan segalanya pada "yang di luar sana". Nabi Muhammad sendiri adalah manusia yang rasional. Beliau berdagang dengan jujur, memimpin dengan musyawarah, dan ketika Perang Badar meletus, beliau mengatur strategi. Beliau tidak hanya bersandar pada mukjizat, tapi juga pada ikhtiar.

Saya membayangkan wajah Tan Malaka, yang mungkin akan menggelengkan kepala melihat bagaimana bangsa ini—yang sudah merdeka selama puluhan tahun—masih saja mencari solusi dengan cara-cara yang tidak bisa diverifikasi. Padahal ia pernah menulis buku Menuju Republik Indonesia. Ia pernah bermimpi tentang sebuah negeri yang maju karena ilmu, bukan karena jimat.

Kopi saya sudah habis. Rokok saya tinggal abu. Siang sudah bergeser menuju senja. Tapi kata-kata dari percakapan itu masih tertinggal. Mungkin bukan hanya karena isinya, tapi karena kejujuran dalam suara orang itu. Bahwa di luar ruangan ini, di luar tembok-tembok kampus dan kantor, kepercayaan seperti itu masih hidup. Dan ia bukan semata-mata hal bodoh. Ia adalah bentuk harapan. Harapan bahwa ada kekuatan yang menjaga di saat hukum tak mampu. Bahwa ada kekuatan yang melindungi saat pemerintah abai.

Tapi harapan yang terlalu lama disandarkan pada yang tak terlihat, lama-lama bisa membuat kita lupa cara untuk melihat. Lupa pada perbaikan yang nyata. Lupa bahwa doa perlu usaha, dan harapan perlu kerja.

Percakapan itu selesai tanpa kesimpulan. Seperti puisi yang berhenti di tengah baitnya. Tapi saya tahu, saya tidak akan melupakannya. Karena di dalamnya, ada pertanyaan yang tidak selesai: bagaimana kita hidup di antara iman dan nalar? Di antara harap dan kenyataan?

Barangkali, seperti puisi juga, jawabannya bukan untuk disimpulkan, tapi untuk terus dirasakan.

You are receiving this email because you subscribed to this feed at blogtrottr.com. By using Blogtrottr, you agree to our policies, terms and conditions.

If you no longer wish to receive these emails, you can unsubscribe from this feed, or manage all your subscriptions.
Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url