Menilik Dunia Fashion lewat Kacamata Thresia Mareta, Founder LAKON Indonesia - juandry blog

Halaman ini telah diakses: Views
kumparan - #kumparanAdalahJawaban
 
Menilik Dunia Fashion lewat Kacamata Thresia Mareta, Founder LAKON Indonesia
Jul 23rd 2025, 20:35 by kumparanWOMAN

Founder LAKON Indonesia dan Advisor JF3, Thresia Mareta. Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
Founder LAKON Indonesia dan Advisor JF3, Thresia Mareta. Foto: Jamal Ramadhan/kumparan

Ketika kumparanWOMAN memijakkan kaki di gerai LAKON Indonesia Summarecon Mall Kelapa Gading, kami disambut oleh suasana wastra nan semarak serta deretan karya tekstil perajin Nusantara. Tertata rapi dengan pemilihan warna interior yang cerah, ruang ini merupakan perwujudan ekosistem kemitraan brand lokal yang dibangun oleh Thresia Mareta.

Suasana LAKON Indonesia yang tenteram di sore hari menghangat ketika Thresia, sang founder, menyambut kami dengan senyum cerah. Tampil bersahaja mengenakan rok batik cokelat, ia mempersilakan kami masuk—memulai perbincangan selama 1,5 jam yang penuh dengan deretan wawasan menarik soal industri mode Indonesia dari kacamata Thresia. Jika dideskripsikan dalam bahasa kekinian, obrolan kami daging semua.

Thresia tengah disibukkan dengan persiapan berbagai proyek yang diempunya. Mulai dari JF3 Fashion Festival yang akan kickstart pada 24 Juli 2025; PINTU Incubator, sebuah inkubasi mode untuk brand-brand lokal; hingga persembahan LAKON Indonesia di JF3. Lelah, tentu—namun Thresia tetap meluangkan waktu untuk berbagi kisah.

Thresia Mareta datang dari latar belakang menarik. Sebagai lulusan arsitektur dari Universitas Tarumanegara, Thresia "banting setir" ke industri fashion Indonesia dan pelestarian budaya lokal. Namun, perjalanannya di bidang ini tidak dimulai tiba-tiba. Ceritanya berawal dari memori masa lalu yang menyimpan cinta terhadap salah satu wastra Indonesia: Batik.

LAKON Indonesia store di Summarecon Mall Kelapa Gading 5. Foto: Jamal Ramadhan/kumparan. Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
LAKON Indonesia store di Summarecon Mall Kelapa Gading 5. Foto: Jamal Ramadhan/kumparan. Foto: Jamal Ramadhan/kumparan

Memori penuh cinta itulah yang mengantarkan Thresia menjadi "langganan" di JF3. Jauh sebelum memegang peran sebagai Advisor JF3, ia adalah penonton setia festival mode yang sudah berjalan selama 21 tahun ini.

Dari festival JF3 ia berkenalan dengan brand dan perajin lokal lalu kemudian lewat serangkaian perbincangan, ia membangun pengetahuan soal iklim fesyen dan situasi rumit yang dihadapi mereka dalam industri ini. Salah satu yang menjadi tantangan besar dalam industri ini, menurut Thresia, adalah tendensi pelaku fashion lokal untuk berdiam di zona nyaman, eksekusi yang kurang maksimal, hingga ancaman tergerusnya budaya.

Kemudian, dari afeksi dan pengetahuan, lahirlah perasaan baru: concern. Thresia merasakan concern—yang bisa ditafsirkan sebagai kepedulian dan juga kekhawatiran—tentang wastra, budaya, dan mode. Menolak diam di tempat, ia memilih bergerak untuk mencapai apa yang dicita-citakan: Preserving culture.

Tak hanya sampai situ, ia juga memboyong wastra Indonesia ke panggung internasional—hingga ke Prancis, jantung mode dunia. Promosi budaya lokal ini membawanya meraih penghargaan bergengsi Knight of the Ordre des Arts et des Lettres (Order of the Arts and Literature) dari Kementerian Kebudayaan Prancis pada 2025.

Simak cerita Thresia Mareta, founder LAKON Indonesia dan Advisor JF3 yang turut memprakarsai lahirnya PINTU Incubator, program inkubasi fashion dalam kolaborasi bersama Kedutaan Besar Prancis di Jakarta, lewat obrolan hangat bersama kumparanWOMAN.

Founder LAKON Indonesia dan Advisor JF3, Thresia Mareta. Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
Founder LAKON Indonesia dan Advisor JF3, Thresia Mareta. Foto: Jamal Ramadhan/kumparan

Bagaimana awal mula perjalanan Bu Thresia dalam mencintai budaya dan wastra Indonesia? Apa yang membuat Anda mau "repot-repot" melestarikan dan mempromosikan budaya sampai meraih penghargaan bergengsi dari Prancis?

Thesia Mareta (TM): Jawabannya simpel: Karena saya orang Indonesia. Kalau enggak kita, siapa yang melakukan? Saya punya kesempatan, saya punya kemampuan, kenapa enggak? Dari kecil orang tua saya juga selalu mengajari nasionalisme dan kemudian ada pengaruh keluarga; yaitu nenek saya yang senang pakai kain.

Dulu, kalau liburan, kami senang road trip bersama ayah saya. Menyetir ke Sumatra, ke Bali, ke Jogja. Dan setiap kali kami jalan-jalan, pasti harus bawa oleh-oleh buat Oma saya, dan biasanya bawa batik tulis untuk beliau.

Mungkin dari situ, saya jadi suka. Saya suka banget bawa batik; sampai sekarang kalau saya lagi suntuk banget, saya buka-buka koleksi kain batik saya, saya cium aromanya; enak banget. Saya saya senang sekali lihat batik kalau detailnya bagus sekali. Itu jadi kepuasan buat saya.

Lalu, bagaimana dengan perjalanan memulai LAKON Indonesia?

TM: Kalau LAKON, itu saya bangun berdasarkan rasa concern; kepedulian, mungkin? Kekhawatiran? Banyak maknanya. Lalu, dari awal JF3 berdiri, saya sudah hadir sebagai penonton. Saat itu saya masih melihat model-model kita itu berkarisma, juga desainernya.

Melalui JF3, saya juga bertemu dengan desainer-desainer lain, saya bertemu juga dengan perajin. Saya mulai mendengar banyak cerita, bagaimana semakin hari, perajinnya semakin sedikit. Lalu, dengan kesukaan saya dengan kain batik, saya akhirnya melihat, semakin ke sini, kok, batik yang bagus makin jarang, ya?

Founder LAKON Indonesia dan Advisor JF3, Thresia Mareta. Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
Founder LAKON Indonesia dan Advisor JF3, Thresia Mareta. Foto: Jamal Ramadhan/kumparan

Lalu, sekarang juga banyak yang enggak mengenal batik asli, karena yang biasa dipakai itu tekstil motif batik. Kita juga mengenal sekarang banyak banget batik tulis yang harganya murah. Enggak ada unsur seninya di situ, karena yang penting cepat jadi, cepat selesai.

Saya enggak menyalahkan ada batik yang murah atau ada tekstil motif batik, karena saya mengerti ada banyak level ekonomi. Mereka mau pakai batik, yang pasti mereka beli sesuai dengan kemampuan. Tapi di sisi lain, ada perajin yang akhirnya juga enggak bisa hidup karena tergerus sama tekstil motif batik. Nah, bagaimana kita bisa menyeimbangkan ini? Kalau perajin enggak dibantu, lama-lama hilang, kita enggak punya lagi batik. Jadi, kita sudah bisa lihat sebenarnya ini akan ke mana arahnya. Harus dilakukan sesuatu.

Itu yang saya bilang: concern. Perajin kita ini terjebak di satu sistem yang sebenarnya butuh perbaikan. Nah, makanya saya pikir, "Kenapa enggak saya bangun satu ekosistem yang ideal, supaya mereka bisa hidup?" Ekosistem itu saya namakan LAKON Indonesia.

Dari mana inspirasi nama LAKON itu berasal?

TM: Saya waktu itu baca bukunya Pak Iwan Tirta (maestro batik -red), dia menyebutkan kata 'lakon'. Saya pikir, "Wah, cocok ini lakon, lakon itu kan pelaku." Saya suka kata lakon karena multitafsir. Lakon itu cerita dan juga pelaku. Jadi, ini memang cocok karena saya ingin Lakon menjadi ruang untuk mengumpulkan pelaku mode, juga menjadi tempat untuk saling berbagi cerita.

Bagaimana Bu Thresia memandang situasi para perajin lokal Indonesia saat ini, yang menjadi dasar pendirian LAKON Indonesia?

LAKON Indonesia store di Summarecon Mall Kelapa Gading 5. Foto: Jamal Ramadhan/kumparan. Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
LAKON Indonesia store di Summarecon Mall Kelapa Gading 5. Foto: Jamal Ramadhan/kumparan. Foto: Jamal Ramadhan/kumparan

TM: Di Indonesia, para perajin sering kali dikategorikan sebagai "orang miskin". Apa yang dilakukan enggak cukup buat menghidupi dia. Jarang sekali mereka diberdayakan, hanya diberi sumbangan. Kalau dibiasakan begini terus, mau jadi apa? Lalu, regenerasinya juga enggak terjadi juga, karena nanti anak para perajin akan melihat betapa susahnya orang tua mereka bikin batik, enggak laku-laku, harus berutang dulu. Bagaimana si anaknya mau melanjutkan? Enggak akan tertarik.

Namun, kalau perajin sudah bisa menghidupi diri sendiri lewat karyanya, mindset dia akan berbeda. Karena apa? Dia punya rasa bangga, itu yang mengubah semuanya. Pride itu yang juga akan mengubah generasi berikutnya. Karena dia bisa mengajak saudaranya juga, tetangganya juga, untuk ikut di sini. Dan itu sudah terjadi di ekosistem LAKON. Saya pikir, di dalam ekosistem ini, saya perlu motor sendiri supaya usaha ini bisa bertahan. Motor itu adalah distribution channel, atau toko.

Sekarang kita bicara soal JF3 dan 21 tahun kiprahnya di industri mode Indonesia. Tahun ini, tema yang diangkat adalah 'Recrafted: A New Vision'. Apa kebaruan yang dibawa oleh JF3?

TM: Setiap tahun di JF3, kami sudah secara konsisten menampilkan sesuatu yang baru. Itu yang kita perlu di industri fashion Indonesia, karena industri fashion Indonesia sudah lama sekali jalan di tempat. Sudah tiga tahun belakangan ini JF3 berusaha untuk menampilkan setting yang baru supaya bisa memicu perubahan itu. Tapi, ya, untuk mengubah sesuatu itu, kan, enggak mudah.

Contohnya, waktu itu kita menciptakan setting yang bisa dibilang paling kontroversial—show di parkiran. Desainer banyak yang kaget, sampai ada yang komplain. Tapi, kan, ini adalah usaha kami supaya fashion festival itu jadi relevan dengan apa yang terjadi di internasional, supaya kita benar-benar bisa terkoneksi dengan industri fashion secara global.

Makanya, kami keluar dengan tema yang baru ini, Recrafted: A New Vision. Ini bukan mengenai tampilan saja, tapi sebenarnya, kami ingin mengajak semua pelaku industri untuk berpikir lagi, apa yang bisa kita lakukan supaya industri ini bisa lebih maju lagi ke depannya?

Jadi, pesan yang ingin dibawa lewat tema Recrafted: A New Vision ini memang pembaruan dalam industri fashion lokal, ya?

Founder LAKON Indonesia dan Advisor JF3, Thresia Mareta. Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
Founder LAKON Indonesia dan Advisor JF3, Thresia Mareta. Foto: Jamal Ramadhan/kumparan

TM: Persepsi orang soal dunia fashion perlu diperbarui. Mungkin bukan hanya diperbarui, tapi kita coba balik lagi ke dasarnya: Sebenarnya apa, sih, fashion dan bisnis fashion? Contohnya adalah couture. Couture kesannya barang mahal yang eksklusif banget, tapi couture dalam arti yang sebenarnya adalah made-to-order. Eksklusif atau enggak, tergantung eksekusinya.

Kami juga menyadari dan melihat secara langsung; pertanyaannya, ada berapa banyak desainer kita yang bisa hidup dari profesinya mereka? Kalau jawabannya masih enggak banyak, berarti itu ada hal yang perlu diperbaiki. Perlu ditinjau kembali. Di negara lain, fashion jadi salah satu bisnis yang besar, dan mereka bisa hidup benar-benar dari profesi yang mereka lakukan.

Kita harap, tema ini bisa jadi pemantik bagaimana semua pelakunya bisa berpikir kembali untuk melakukan eksekusi yang lebih baik lagi ke depannya.

Selama 21 tahun kiprah JF3 di Indonesia, menurut Bu Thresia, apa sumbangsih yang telah diberikan JF3 terhadap ndustri fashion Tanah Air?

TM: Dari awal, memang JF3 berperan sekali dalam bagaimana kain tradisional kita bisa masuk ke industri fashion. Kita juga bisa lihat sekarang, di dunia fashion Indonesia, kain sudah jadi lumrah.

Kami melakukan sesuatu dengan kesadaran bahwa ini enggak mungkin cuma JF3 sendiri yang melakukan; tapi kita yang memulai. Akhirnya pun diikuti oleh banyak orang dan menjadi sesuatu yang biasa di dalam industri ini.

Juga mengenai bagaimana fashion Indonesia masuk ke pasar global secara lebih baik, itu juga menjadi pembicaraan di mana-mana. Memang, yang aktif menggaungkan itu pertama kali adalah JF3, sejak PINTU Incubator.

LAKON Indonesia sendiri akan menghadirkan apa di JF3 ini? Adakah spoiler tipis-tipis?

TM: Kita masih berfokus di streetwear. Tahun ini masih streetwear, untuk lebih detailnya bisa datang langsung sendiri, ya.

LAKON Indonesia store di Summarecon Mall Kelapa Gading 5. Foto: Jamal Ramadhan/kumparan. Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
LAKON Indonesia store di Summarecon Mall Kelapa Gading 5. Foto: Jamal Ramadhan/kumparan. Foto: Jamal Ramadhan/kumparan

Menurut Bu Thresia, seperti apa, sih, situasi industri fashion Indonesia saat ini?

TM: Indonesia masih perlu belajar dalam segi eksekusi. Saya masih sering banget dengar pendapat desainer luar negeri, "Oh, Indonesia itu desainnya lokal banget, ya?" Kalau dia bilang kita lokal banget, artinya cara kita menggarap kain tradisional itu masih hanya bisa dipakai oleh orang Indonesia, belum menyesuaikan dengan taste internasional.

Sebenarnya kita sudah mulai bergerak, tapi berputarnya masih di situ-situ saja. Kita perlu naik level. Kalau yang dilakukan masih yang itu-itu saja, kita enggak akan ke mana-mana. Bisa enggak, kita bisa keluar dari comfort zone kita sekarang? Industri fashion kita mau jadi apa ke depannya kalau masih di sini-sini saja?

Saya sering berhadapan dengan desainer ya, dari desainer Prancis, Asia Tenggara, Korea datang. Saya juga membawa desainer lokal ke luar. Ada perbedaannya dalam pertanyaan mereka. Ketika desainer kita dibawa fashion show di luar negeri, pertanyaannya, "Kapan? Berapa look? Yang perlu saya siapin apa?"

Sementara itu, desainer luar negeri akan bertanya, "Pasar kamu apa? Kelas mana levelnya? Price point kamu berapa? Saya dapat pop-up? Saya mesti bawa berapa produknya?" Pikiran mereka bisnis, bukan cuma tampilnya. Fashion lokal kita itu mindset pelakunya masih sampai di "tampil", belum maju sampai bisnisnya. Ini yang harus kita dorong. Bisnis itulah yang bisa bikin mereka hidup dengan profesi mereka dan mereka bisa stay di profesi itu.

Bicara soal peran sebagai Advisor JF3, apa tantangan terbesar yang dihadapi Bu Thresia dalam menjalani peran ini?

TM: Tantangan paling berat? Kalau saya lihat mereka (para desainer atau perajin) memilih untuk pasrah dan tidak mau keluar dari zona nyaman; "Ya sudah, begitu saja."

Kita sudah kasih fasilitasnya, kita kasih konsultasi, tapi pada akhirnya, mereka memilih kenyamanan dibandingkan breakthrough untuk bisa maju, itu buat saya berat sekali untuk ditonton; Generasi muda yang memilih untuk be stuck in time.

Sayangnya, yang mau keluar dari zona nyaman hanya sebagian kecil; cuma dua persen menurut data statistik. Jadi, saya mencari cuma dua persen itu saja. Tapi, kan, dalam perjalanannya, kebayang enggak, sih, saya harus menonton 98 persen yang tidak mau keluar dari zona nyaman itu?

Founder LAKON Indonesia dan Advisor JF3, Thresia Mareta. Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
Founder LAKON Indonesia dan Advisor JF3, Thresia Mareta. Foto: Jamal Ramadhan/kumparan

PINTU Incubator menjadi salah satu upaya Bu Thresia dalam mempromosikan industri fashion lokal ke panggung dunia, bahkan mengantarkan Bu Thresia mendapatkan penghargaan. Kenapa Anda memutuskan mendirikan ini?

TM: Apa yang membedakan kita dengan yang lain adalah di detail eksekusi. Saat mengerjakan LAKON, JF3, maupun PINTU Incubator, kita melihat apa yang terjadi dan bagaimana kita bisa memberikan solusi.

Saya mempelajari apa kekurangan dari brand lokal kita, kenapa mereka enggak bisa ke Internasional? Makanya saya pikir, "Oke, saya perlu punya inkubator fashion." Saya mendirikan PINTU Incubator dengan program enam bulan full. Ada goal yang saya mau capai: Para desainer harus bisa naik level. Eksekusinya kita pikirkan, gimana kita mengundang mentor yang tepat buat mereka.

PINTU Incubator itu bukan ketemu guru. Desainer akan bertemu dengan sederetan konsultan, di mana desainer bisa datang menjelaskan masalah dalam mengembangkan brand, lalu mentor bisa memberikan solusi. Para desainer dituntut untuk mengeksekusi solusi tersebut, memberikan bukti yang nyata dan hasil dari apa yang kita bicarakan. Itu akhirnya membuat kita punya kredibilitas.

Pertanyaan terakhir, menurut Bu Thresia, apakah Indonesia suatu saat bisa menjadi fashion hub layaknya beberapa negara Asia saat ini, seperti Thailand dan Korea Selatan?

TM: Bisa. Potensi kita besar sekali; balik lagi bagaimana kita bisa mengeksekusi itu? Itu perlu kerja sama dengan berbagai pihak. Di JF3 kita sudah memperluas koneksi. Misalnya, tahun-tahun sebelumnya, kita terkoneksi dengan Paris, lalu Asia Tenggara, tahun ini Korea Selatan. Kami melakukan exchange; akan ada desainer Korea yang tampil di JF3, sementara di Korea Selatan, desainer kita akan diundang di Busan Fashion Week. Desainer lokalnya masih kami kurasi.

Kita di JF3 kami mencari generasi muda pelaku fashion Indonesia yang memang bisa di-support, dikembangkan, dan memang mau berkembang. Jangan sampai yang senior sudah lewat, terus kita nggak punya the next one. Yang the next one harus bisa lebih kuat dari sebelumnya. Bagaimana caranya, itu kan harus diusahakan. Saya paham, orang di bidang kreatif mungkin cukup lemah di bisnis. Tapi, berarti dia harus bisa mencari partner atau yang mau bekerja buat dia untuk melengkapi ini. Harus ada kolaborasi.

You are receiving this email because you subscribed to this feed at blogtrottr.com. By using Blogtrottr, you agree to our policies, terms and conditions.

If you no longer wish to receive these emails, you can unsubscribe from this feed, or manage all your subscriptions.
Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url