Ilustrasi palu sidang diketuk tanda putusan hakim dijatuhkan. Foto: ShutterstockHakim Agung Sunarto yang terpilih menjadi Wakil Ketua MA bidang Yudisial. Foto: YouTube/Mahkamah Agung Republik Indonesia
Ketua Mahkamah Agung (MA), Sunarto, mengungkapkan profesi hakim tak akan bisa digantikan oleh artificial intelligence (AI). Sebab, menurutnya, AI tak memiliki nalar dan hati nurani.
Hal itu disampaikan Sunarto saat memberikan kuliah umum di Universitas Udayana, Bali, pada Senin (30/6). Kuliah umum itu bertajuk 'Membangun Integritas dan Tantangan Etika Profesi Hukum di Era Society 5.0'.
"Hakim tidak bisa digantikan oleh AI. Meskipun AI memiliki kemampuan berpikir, ia tidak memiliki nalar dan hati nurani," kata Sunarto dikutip dari laman MA, Selasa (1/7).
Ketua Mahkamah Agung terpilih periode 2024-2029 Sunarto setelah terpilih menjadi Ketua Mahkamah Agung di Media center Mahkamah Agung, Jakarta, Rabu (16/10/2024). Foto: Muhammad Adimaja/ANTARA FOTO
Dia menjelaskan, putusan yang dikeluarkan oleh hakim bukan sekadar produk akal yang rasional. Melainkan juga cerminan dari nurani untuk menciptakan keadilan.
Karenanya, Sunarto melanjutkan, hakim perlu memiliki pemahaman yang mendalam akan nilai-nilai keadilan. Bukan hanya dari buku, tetapi pemahaman yang bersumber dari hati nurani.
AI kini telah digunakan oleh MA untuk aplikasi Smart Majelis. Aplikasi ini berfungsi untuk memilih majelis hakim secara otomatis dengan mempertimbangkan faktor beban kerja, pengalaman, dan keahlian hakim.
Di sisi lain, dengan perkembangan teknologi saat ini, Sunarto mengakui lembaga peradilan perlu melakukan penyesuaian dengannya. Namun dia menegaskan, perkembangan teknologi tak boleh disalahgunakan untuk berlaku curang.
"Profesi hukum kini menghadapi tantangan baru di era Society 5.0, khususnya dalam memanfaatkan teknologi untuk pelayanan peradilan. Namun, teknologi harus digunakan sebagai alat untuk mencapai keadilan, bukan sebagai sarana manipulasi," ujar dia.
Sunarto membeberkan, MA di antaranya sudah mengimplementasikan perkembangan teknologi melalui sistem peradilan elektronik, yakni e-Court dan e-Berpadu.
Pada 2024, sebanyak 13.482 perkara kasasi dan peninjauan kembali telah diajukan secara elektronik. Jumlah perkara perdata yang masuk melalui e-Court meningkat hampir 31%, sementara perkara banding elektronik meningkat lebih dari 62% dibanding tahun sebelumnya.
Melalui aplikasi e-Berpadu, lebih dari 778 ribu administrasi perkara pidana diproses secara elektronik pada 2024.
Meski di tengah perkembangan teknologi itu, Sunarto menekankan, kunci utama dalam menjaga kepercayaan publik adalah dengan menjunjung integritas.
"Memilih menjadi profesional hukum adalah memilih jalan yang sunyi, namun penuh makna dan tanggung jawab besar. Mari kita jaga profesi ini agar tetap kompeten, berintegritas, dan menjadi solusi bagi masyarakat," tutur dia.