Pengolahan dan pemurnian nikel dengan sistem hidrometalurgi yang merupakan bahan baku batere mobil listrik yang dibangun Harita Group di Halmahera. Foto: Harita Group
PT Trimegah Bangun Persada Tbk (NCKL) atau Harita Nickel mengaku optimistis bakal mencatatkan kinerja keuangan yang positif sepanjang 2025, meskipun harga nikel global sedang mengalami tekanan.
Direktur Keuangan Harita Nickel, Suparsin D Liwan, menyampaikan pada kuartal I tahun ini perusahaan berhasil mencatatkan laba bersih senilai Rp 1,65 triliun, naik 65 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu senilai Rp 1 triliun.
Pertumbuhan laba tersebut ditopang peningkatan pendapatan kuartalan yang mencapai Rp 7,12 triliun, naik 18 persen dari kuartal I tahun 2024 sebesar Rp 6,03 triliun.
"Pendapatan dan laba akan akan naik terutama disebabkan kinerja operasional tahun ini dari sektor tambang bijih nikel yang akan menaikkan produksi. Karena ada 1 anak perusahaan GPS (PT Gane Permai Sentosa) yang mulai berproduksi," kata Suparsin dalam konferensi pers daring, Rabu (18/6).
Suparsin menjelaskan tambahan produksi dari unit tambang bijih nikel menjadi salah satu pendorong utama pertumbuhan kinerja di tengah tekanan harga.
Selain sektor tambang, stabilnya operasional di unit pengolahan nikel juga menjadi penopang. Dua anak usaha, yaitu PT Megah Surya Pertiwi dan PT Harmahera Jaya Feronikel, saat ini telah beroperasi dengan kapasitas penuh.
Kolam sedimen untuk pengelolaan limpasan air tambang di lokasi pertambangan nikel milik Harita Nickel di Pulau Obi, Maluku Utara. Foto: Dok. Istimewa
"Ada kontribusi dari asosiasi PT Halmahera Persada Lygend, PT Obi Nickel Cobalt (ONC), dan PT Karunia Permai Sentosa (KPS) sangat terpengaruh pada harga tapi tahun ini kontribusi KPS dan ONC ada pertambahan karena tahun 2025 PT ONC sudah capai kapasitas penuh. KPS sudah produksi tahun ini," tambahnya.
Pernyataan ini disampaikan di tengah tren pelemahan harga nikel global. Harga nikel di London Metal Exchange (LME) pada Selasa (17/6) ditutup turun 0,96 persen ke level USD 14.924 per ton.
Menurut Tradingeconomics, penurunan ini disebabkan kekhawatiran kelebihan pasokan global, terutama akibat lonjakan produksi dari Indonesia yang kini menyumbang sekitar 63 persen dari total produksi dunia.
Tekanan harga juga diperparah oleh pertumbuhan permintaan yang melemah, antara lain karena meningkatnya penggunaan baterai lithium iron phosphate (LFP) yang lebih murah dibandingkan baterai berbasis nikel.
Analis memproyeksikan surplus pasokan nikel global bisa bertahan hingga 2027–2028, seiring rampungnya sejumlah proyek smelter di Indonesia.