Mar 8th 2025, 08:11, by Muhammad Darisman, kumparanBISNIS
Drilling Operation Manager PetroChina International Jabung Ltd, Kiki Ariefianto, saat media gathering dan buka puasa bersama, Jumat (7/3/2025). Foto: Fariza Rizky Ananda/kumparan
PetroChina International Jabung Ltd mengungkapkan kelangkaan alat pengeboran sumur migas alias rig masih bisa berdampak pada kenaikan biaya pengeboran secara signifikan.
Drilling Operation Manager PetroChina International Jabung, Kiki Ariefianto, mengatakan terdapat berbagai tantangan pada saat permintaan peningkatan kampanye pengeboran dan perawatan sumur di rezim Gross Split terbaru.
Kiki mengakui terdapat peningkatan permintaan (demand) alat pengeboran, namun kondisi pasokan (supply) terlihat keteteran mengimbangi permintaan tersebut.
"Kami menghadapi beberapa kelangkaan barang dan jasa untuk pengeboran, walaupun saat ini masih bisa kita tangani," ungkapnya saat Media Gathering, Jumat (7/3).
Perusahaan pun meminta pemangku kepentingan, dalam hal ini pemerintah dan SKK Migas, turun tangan mengatasi kelangkaan alat pengeboran migas dan tidak hanya meminta kegiatan pengeboran terus digenjot.
"Kami membutuhkan perhatian dari pemangku kebijakan untuk memperhatikan hal ini, jangan hanya menambah volume pekerjaan tapi juga memperhatikan dari keseimbangan antara supply dan demand," tegas Kiki.
Kiki menuturkan, jika kondisi ini dibiarkan begitu saja, maka perusahaan akan mendapati peningkatan biaya pengeboran yang signifikan.
"Kalau demand terlalu banyak, sementara supply terbatas, akibatnya biaya pengeboran akan naik dengan signifikan karena kelangkaan dan bisa juga menyebabkan kesulitan bagi kami operator," ungkapnya.
Di sisi lain, Kiki masih melihat kesempatan atau peluang bagi kegiatan hulu migas di Indonesia. Perusahaan hingga kini masih menjaga produksi migas di kisaran 50-55 juta barel ekuivalen per hari (MBOEPD).
Jika perusahaan tidak melakukan pengeboran dan upaya peningkatan produksi, produksi minyak akan menurun seiring berjalannya waktu, sebesar 5-10 MBOEPD pada Oktober 2024.
Sebaliknya, dengan dimulainya kegiatan pengeboran pada tahun 2015 dan berlanjut pada tahun-tahun berikutnya, produksi meningkat signifikan mencapai 50-55 MBOEPD pada Oktober 2024.
"Karena cepatnya laju decline produksi dari minyak dan gas di lapangan kami, sehingga kemungkinan kalau tidak kita lakukan pengeboran dan perawatan sumur," jelas Kiki.
Adapun kondisi kelangkaan rig sebetulnya sudah terjadi sejak tahun 2023. Kepala SKK Migas yang menjabat saat itu, Dwi Soetjipto, menuturkan terjadi kenaikan investasi hulu migas secara global imbas harga minyak yang masih tinggi. Efeknya, kebutuhan industri penunjang juga ikut naik, termasuk rig.
"Kebutuhan rig dan sebagainya menjadi lebih tinggi dan membuat cost menjadi naik, itu yang terjadi sekarang sehingga kita harus menyikapinya dengan kesulitan yang kita hadapi," ungkap Dwi saat konferensi pers kinerja hulu migas semester I 2023, Selasa (19/7/2023).
Sementara itu, Vice President IPA, Ronald Gunawan, mengatakan kondisi ini merupakan dampak dari pandemi COVID-19, di mana kegiatan hulu migas menurun drastis dan menyebabkan anjloknya harga minyak mentah.
Akibatnya, menurut Ronald, banyak rig-rig onshore (darat) maupun offshore (lepas pantai) yang harus disimpan (cold stack). Layaknya pabrik yang menutup operasionalnya, perusahaan mengistirahatkan rig ketika tidak ada pengeboran (drilling).
"Waktu itu oil price crash banyak perusahaan setop drilling, jadi rig itu tidak terpakai, yang punya rig membawa masuk ke dalam yard," jelasnya saat konferensi pers IPA Convex ke-47, Kamis (20/7/2023).