Dec 17th 2024, 11:00, by Ahmad Romadoni, kumparanNEWS
Presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) kembali jadi pembicaraan di tengah wacana mengubah sistem Pilkada dari langsung, kembali ke DPRD. Wacana ini sempat disampaikan Presiden Prabowo Subianto.
Pemerintah dan DPR bak gayung bersambut dengan adanya rencana perubahan sistem pemilu. Penolakan juga datang dari aktivis hingga pemerhati pemilu.
Ini sejalan dengan apa yang dilakukan SBY pada 2014. Saat itu, DPR mengesahkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali kota yang mengatur pemilihan kepala daerah secara tidak langsung oleh DPRD.
Undang-undang ini disahkan setelah Pemilu 2014 rampung dan proses transisi dari pemerintahan SBY ke Jokowi berlangsung.
SBY saat itu sudah menjalankan pemerintahan 2 periode. Pemerintahan dilanjutkan oleh Jokowi-JK yang memang pemilu.
Sementara, di DPR, gonjang-ganjing pimpinan masih berlangsung. Sebab, PDIP sebagai pemenang Pileg tak dapat kursi Ketua DPR karena ada manuver politik dari partai non-pendukung Jokowi-JK.
SBY akhirnya mengambil keputusan berani. Perppu Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali kota, diterbitkan. Ini secara otomatis mencabut Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali kota yang mengatur pemilihan kepala daerah secara tidak langsung oleh DPRD.
Tak cuma satu, SBY juga menerbitkan satu Perppu lagi, yakni Perppu Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Perppu ini menghapus tugas dan wewenang DPRD untuk memilih Kepala Daerah.
"Kedua Perppu tersebut saya tanda tangani sebagai bentuk nyata dari perjuangan saya bersama-sama dengan rakyat Indonesia untuk tetap mempertahankan pemilihan kepala daerah secara langsung," kata SBY saat itu, dikutip dari situs resmi Sekretariat Kabinet, Selasa (17/12).
Bagi SBY, perbaikan terhadap pemilu tak bisa langsung disimpulkan mengubah sistem yang sudah ditinggalkan sebelumnya. Pemilu berkualitas bisa dijalankan dengan berbagai cara, termasuk menghadirkan calon-calon berkompeten yang bisa diuji langsung oleh publik.
Wacana Prabowo
Presiden Prabowo melontarkan rencana mengubah sistem Pilkada. Misalnya, para kepala daerah nantinya dipilih DPRD.
"Ketum Golkar, salah satu partai besar, tapi menyampaikan perlu ada pemikiran memperbaiki sistem parpol. Apalagi ada Mbak Puan (PDIP) kawan-kawan dari PDIP, kawan-kawan dari partai lain mari kita berpikir mari kita tanya apa sistem ini, berapa puluhan triliun habis dalam satu dua hari, dari negara maupun dari tokoh-tokoh politik masing-masing," ucapnya.
"Iya kan? Saya lihat negara-negara tetangga kita efisien, Malaysia, Singapura, India, sekali milih anggota DPR/DPRD sekali milih yaudah DPRD itu milih gubernur, milih bupati," ucapnya.
Politik Mahal Tak Boleh Jadi Alasan
Peneliti Pusat Studi Hukum Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (PSHK FH UII) M Addi Fauzani, mengingatkan Prabowo agar tetap patuh mandat konstitusi. Alasan biaya mahal dan menghindari politik uang tidak bisa dijadikan dasar kuat untuk mengembalikan sistem Pilkada kembali ke DPRD.
"Secara sosiologis, wacana Pilkada melalui DPRD yang didasarkan pada alasan efisiensi prosedur maupun anggaran merupakan alasan yang sangat lemah," kata dia.
"Hal ini mengingat baik Pilkada secara langsung maupun lewat DPRD sama-sama rentan akan money politics. Narasi akan mahalnya Pilkada langsung justru terkesan menyalahkan rakyat. Padahal biaya mahal lahir karena politisi menggunakan cara-cara instan dengan uang untuk mendulang suara," tambah dia.