Nov 11th 2024, 16:08, by Muhammad Anwar, Muhammad Anwar
Presiden Prabowo Subianto resmi menandatangani Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 47 Tahun 2024 tentang Penghapusan Piutang Macet kepada Usaha Mikro Kecil dan Menengah dalam Bidang Pertanian, Perkebunan, Peternakan, Perikanan, dan Kelautan serta sektor UMKM lainnya.
Lewat PP ini, pemerintah berharap dapat meringankan mereka yang kesulitan membayar utang dan kembali bangkit di tengah situasi ekonomi yang penuh tantangan.
Hingga saat ini, kredit macet atau Non Performing Loan (NPL) macet segmen UMKM di bank-bank BUMN saat ini mencapai Rp8,7 triliun.
Sementara berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) per Agustus 2024, kredit macet atau sektor pertanian mencapai Rp10,75 triliun naik 14,85 persen yoy dari tahun sebelumnya Rp9,36 triliun.
Sedangkan kredit macet di sektor perikanan/nelayan tercatat sebesar Rp1,11 triliun, turun 2,10 persen yoy dari tahun lalu Rp1,13 triliun.
Pemutihan utang untuk petani dan nelayan tentu merupakan kebijakan yang didasarkan pada niat baik untuk meringankan beban ekonomi mereka, terutama dalam kondisi yang semakin berat.
Bagi para petani dan nelayan, utang sering kali menjadi beban yang menekan, mengingat ketidakpastian hasil panen atau tangkapan yang sangat bergantung pada cuaca dan kondisi alam lainnya.
Oleh sebab itu, menghapuskan utang-utang ini dapat meringankan mereka dari tekanan finansial yang menyulitkan, sehingga memberi ruang untuk mereka bisa lebih fokus pada produktivitas dan keberlanjutan pekerjaan mereka.
Namun kebijakan pemutihan utang bagi petani dan nelayan hendaknya tidak menjadi sekadar gimik politik di awal pemerintahan, melainkan perlu dilaksanakan dengan niat dan strategi yang mendalam untuk membantu masyarakat yang paling rentan dalam perekonomian kita.
Jika kebijakan ini sekadar dijadikan simbol kepedulian tanpa komitmen nyata untuk memperbaiki sektor pertanian dan perikanan secara menyeluruh, manfaatnya hanya akan bersifat sementara, dan bahkan bisa menghilangkan rasa percaya rakyat pada niat pemerintah.
Efektif kah langkah ini?
Penghapusan kredit sendiri telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 Tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (PPSK). Pasal 250 Bab XIX UU PPSK mengatur bahwa kredit macet bank dan non-bank BUMN kepada UMKM dapat dilakukan penghapus bukuan dan penghapus tagihan untuk mendukung kelancaran pemberian akses pembiayaan kepada sektor tersebut.
Hapus buku tersebut dapat dilakukan dengan ketentuan telah dilakukan upaya restrukturisasi dan bank atau non-bank telah melakukan upaya penagihan secara optimal, termasuk upaya restrukturisasi, tetapi tidak berhasil.
Dalam Pasal 251, kerugian yang dialami oleh bank atau non-bank BUMN dalam melaksanakan hapus buku tersebut merupakan kerugian masing-masing perusahaan. UU PPSK juga mengatur bahwa hal itu bukan merupakan kerugian keuangan negara sepanjang dapat dibuktikan tindakan itu dilakukan berdasarkan itikad baik, ketentuan hukum yang berlaku, dan prinsip tata kelola perusahaan yang baik.
Kebijakan pemutihan utang mungkin akan berdampak baik dalam jangka pendek, tetapi tanpa dukungan yang berkelanjutan seperti pendampingan usaha, akses pembiayaan yang lebih adil, dan harga jual yang stabil, pemutihan ini tidak akan menjadi solusi yang cukup berkelanjutan.
Perlu juga dirumuskan solusi jangka panjang jika petani dan nelayan kembali terjebak dalam kondisi ekonomi sulit, mereka mampu menghadapi tantangan.
Perlu Pengawasan yang Baik
Dari sisi kebijakan publik, ada juga kemungkinan kebijakan ini bisa disalahgunakan, baik oleh para pemegang kepentingan atau pihak yang memanfaatkan kesempatan ini sebagai alat politis.
Misalnya, pemutihan utang mungkin saja menjadi insentif yang akhirnya tidak mendidik penerima manfaat untuk lebih bertanggung jawab dalam mengelola keuangan mereka.
Lebih jauh, tanpa pengawasan yang baik, beberapa pihak bisa saja memanfaatkan situasi ini untuk mengajukan pinjaman tanpa niat yang sungguh-sungguh untuk mengembangkan usaha, dengan harapan bahwa utangnya akan diputihkan lagi di masa depan.
Oleh karena itu, perlu ada peraturan yang jelas, sasaran penerima manfaat yang tepat, serta pengawasan yang ketat agar program ini benar-benar menjangkau mereka yang membutuhkan dan tidak beralih menjadi instrumen kebijakan yang disalahgunakan.[]