JF3: Isu Keberlanjutan Bisnis Mode - juandry blog

Halaman ini telah diakses: Views
kumparan - #kumparanAdalahJawaban
 
JF3: Isu Keberlanjutan Bisnis Mode
Aug 23rd 2024, 12:39, by Selfy Momongan, kumparanWOMAN

Dunia mode Indonesia, walau belum sepenuhnya menjadi industri karena masih adanya jurang antara tangan desainer dan roda garmen, selalu bergerak dinamis dan tidak lepas dari isu industri mode dunia. Seperti ramai diangkat lebih sedekade, terutama sejak runtuhnya pabrik garmen Rana Plaza di Bangladesh pada tahun 2013, model bisnis fast fashion dikritisi karena eksploitasi tenaga kerja dan penggerusan sumber daya alam.

Dua tahun sesudahnya keluar dokumenter The True Cost tentang penimbunan limbah dan perlakuan buruk terhadap tenaga kerja fast fashion, dan pemrakarsa dokumenter ini lalu hadir di salah satu pekan mode Indonesia untuk berdiskusi dengan praktisi mode.

Kesereuan Opening Night JF3 2024. Foto: JF3
Kesereuan Opening Night JF3 2024. Foto: JF3

Jakarta Fashion Food and Festival (JF3) menginjak usia ke-20 tahun ini. Dimulai sebagai acara yang menitikberatkan pelaku bisnis mode di Summarecon Mall Kelapa Gading, JF3 bertahap berkembang menjadi acara yang mengetengahkan jenama mode terkemuka Indonesia. Tampak makin serius menggarap mode, JF3 juga menggelar acara di Summarecon Mall Serpong untuk menjaring masyarakat mode baru dan memisahkan akun media sosial acara mode dengan kuliner.

Isu keberlanjutan (sustainability) dalam mode menjadi salah satu aspek pada JF3 2024. Membuka rangkaian acara dengan temu wicara di Pusat Kebudayaan Prancis (IFI), beberapa talenta mode Prancis membagikan pengalaman mereka menerapkan prinsip ini melalui, antara lain, ketepatan penentuan pangsa pasar dan kesadaran volume produksi.

Saat dihadapkan pada pertanyaan tentang cenderung mahalnya produk sustainable fashion di Indonesia, Thresia Mareta, penasehat JF3 dan salah satu penggagas program inkubator desainer mode JF3 dan IFI, secara terbuka menyebut realita yang harus ia seimbangkan sebagai pengusaha. Di satu pihak ia menyadari batasan pembeli, di lain pihak ia ingin membayar pekerja dan pengrajin dengan layak.

Menyempatkan berbincang lebih jauh setelahnya, Thresia mendefinisikan keberlanjutannya sebagai rangkaian proses aktivitas yang berkesadaran dan bertanggung jawab. Contoh yang ia paparkan adalah pengalihan hampir sepenuhnya undangan dari cetak ke digital, pemakaian lahan tersedia demi efisiensi daya dan logistik lainnya, juga strategi penyajian penganan untuk tamu demi menghindar sisa yang menurutnya terjadi tiap tahun.

Pada sisi mode, JF3 berusaha mengkurasi klaim keberlanjutan seorang desainer sambil memahami batasan yang masih ada di pasar Indonesia. Pemakaian stok tersisa (deadstock) di penyalur kain termasuk didorong. Di luar itu, kemauan berkarya seorang desainer dinilai sama pentingnya dengan upaya keberlanjutan yang dilakukan.

Bagaimana dengan upaya para desainer ini?

Kesereuan Opening Night JF3 2024. Foto: JF3
Kesereuan Opening Night JF3 2024. Foto: JF3

Masih dalam kerangka PINTU, inkubator desainer mode JF3 dan IFI, Armine Obanyan dari Prancis dipilih sebagai pembuka JF3 ke-20. Menurut Armine, keberlanjutan diberlakukan pada pemilihan kriya tangan dengan pengrajin dan seniman, juga proses produksi tanpa limbah. Koleksi yang ia tampilkan segar, dinamis, dan secara estetika bisa diterima konsumen mode Jakarta.

Sederet desainer muda berpotensi yang bernaung di bawah Indonesian Fashion Designer Council (IFDC) memilih jalur keberlanjutan yang berbeda-beda.

Wilsen Willim di JF3 2024. Foto: dok JF3
Wilsen Willim di JF3 2024. Foto: dok JF3

Wilsen Willim, dikenal dengan aplikasi atau visual kincir dalam tiap helai karyanya, memilih penggunaan sutra tersedia dan operasional berderap lambat (slow dressmaking) yang mengutamakan kualitas. Bekerja menggunakan gulungan sutra liar karya maestro tenun sutera, Simon "Lenan" Setijoko, materi tambahan seperti tulle ditambahkan untuk menghasilkan koleksi yang mungkin hanya bisa diproduksi sekali mengingat sang Maestro telah tiada dan rumah tenun Lenan telah ditutup.

Adeline Esther juga menyebut pemakaian sutra yang bisa sepenuhnya terurai (biodegradable) sebagai aspek keberlangsungan koleksinya.

Yosafat Dwi Kurniawan menghindar limbah dengan memesan spesifik materi batik Pekalongan dan songket Palembang yang dibutuhkan. Dikenal dengan gaun cocktail modern sexy dalam palet warna metalik, kali ini ia menawarkan koleksi yang tetap dalam DNA desainnya namun terasa lebih Nusantara.

Strategis dalam pemolaan kain sambil menggunakan stok materi yang tersedia juga dilakukan Ria Miranda dalam koleksi tenun bulu kali ini. Luas dikenal menggunakan tekstil cetak dalam warna pastel, pengolahan wastra kali ini memberikan nilai dan dimensi lebih bagi jenama yang sudah merajai pasar busana santun Indonesia agar tidak berhenti bereksplorasi.

Rama Dauhan, sementara itu, memilih rumah batik Solo yang telah bertahan selama 44 tahun sebagai bentuk usaha keberlanjutan koleksinya kali ini.

Selain deretan nama di atas, masih banyak brand atau desainer yang berkomitmen menghasilkan karya dengan mengedepankan sistem berkelanjutan. Ada Lakon Indonesia, Albert Yanuar x Henri Winata, hingga desainer dan brand dari Prancis. Beberapa di antaranya ada Domistique by Bastien Benny, 2 Mai Paris by Alice Rio-Derrey, dan Pressiat by Vincent Garnier.

Isu keberlanjutan memang kompleks dan multi dimensi. Persis sebelum pandemi, penulis bisnis mode ternama Dana Thomas menjabarkan dengan baik dalam buku Fashionopolis: The Price of Fast Fashion and the Future of Clothes bagaimana jenama di negara maju pun masih kerap terantuk regulasi atau batasan bisnis dalam menjalankan prinsip keberlanjutan, namun hambatan itu harus konsisten dilawan.

Bagi negara seperti Indonesia, dengan tingkat upah dan daya beli relatif rendah, pakaian murah yang diproduksi massal kadang jadi opsi termungkin bagi banyak lapisan masyarakat. Penyewaan pakaian yang diusulkan oleh Atase Budaya Prancis, Charlotte Esnou, sudah beberapa tahun ada di Indonesia namun terbatas sekali pada jenis busana premium yang biaya sewanya pun terjangkau untuk pasar tertentu. Bila Zara yang dikategorikan fast fashion di negara maju dianggap mahal di Indonesia karena ongkos distribusi, pajak impor dan nilai tukar mata-uang, bisa dibayangkan masalah fast fashion di Indonesia datang dari sumber yang lebih murah dan masif lagi sehingga perjuangan melawannya pun makin rumit.

Walau, bukan lalu langkah maju keberlanjutan tidak dikayuh dengan semangat baru tiap tahun.

Teks: Lynda Ibrahim

You are receiving this email because you subscribed to this feed at blogtrottr.com. By using Blogtrottr, you agree to our policies, terms and conditions.

If you no longer wish to receive these emails, you can unsubscribe from this feed, or manage all your subscriptions.
Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url