Pesan Rasulullah Sebelum Ramadan Berakhir

Halaman ini telah diakses: Views
ilustrasi berdoa. Foto: Nong2/Shutterstock
ilustrasi berdoa. Foto: Nong2/Shutterstock

Ramadan akan segera berakhir. Dan Rasulullah SAW menunjukkan kepiluan tiada tara di hadapan para sahabatnya dengan mengatakan, bahkan langit, bumi dan para malaikat pun menangis saat Ramadan berakhir.

Demikianlah apa yang diungkapkan dalam hadits riwayat Jabir bin Abdillah 'alaihissalam, "Ketika tiba akhir malam Ramadan, langit, bumi dan malaikat menangis karena adanya musibah yang menimpa umat nabi Muhammad SAW. Sahabat bertanya, "Musibah apakah wahai Rasulullah?" Nabi menjawab: Berpisah dengan bulan Ramadan. Sebab pada bulan ini doa dikabulkan dan sedekah diterima, kebaikan dilipatgandakan dan siksa dihentikan".

Sebagaimana diriwayatkan dalam banyak hadits, Ramadan adalah syahrul mubarok, bulan penuh keberkahan. Makna berkah tidak lain adalah jiyadatul khoir, kebaikan yang melimpah. Melimpah karena meliputi setiap bentuk ibadah dan amalan baik manusia dengan nilai pahala yang berlipat dan tanpa batas.

Itulah sebabnya, dalam hadits yang lain Rasulullah mengatakan, "Seandainya umatku mengetahui keutamaan di bulan Ramadhan, maka sungguh mereka akan berharap setahun penuh Ramadhan." (H.R. Ibnu Khuzaimah)

Maka dengan berakhirnya Ramadan, kesempatan untuk memperoleh keberkahan dan segala keutamaannya berakhir pula. Sementara tidak ada seorang pun yang tahu, bahkan juga Rasulullah SAW, apakah masih akan dipertemukan lagi dengan bulan Ramadan berikutnya.

Seperti dikatakan Ibnu Rajab Al-Hambali dalam kitabnya, Lathaif Al-Ma'arif, "Bagaimana bisa seorang mukmin tidak menetes air mata ketika berpisah dengan Ramadhan, sedangkan ia tidak tahu apakah masih ada sisa umurnya untuk berjumpa lagi."

Mengubah Musibah Menjadi Berkah

Tetapi, sungguh demikian tragiskah nasib umat Islam di hadapan Allah SWT ketika Ramadan berakhir? Bisa iya, bisa juga tidak. Bergantung bagaimana seorang muslim mengambil pilihan hidup pasca Idul Fitri nanti.

Jika seorang muslim, disadari atau tidak, menjadikan Ramadan sekadar momen ritual rutin belaka, sekadar menggugurkan kewajiban syar'i. Dan tidak menjadikannya sebagai momentum untuk memperbarui kualitas pribadinya sebagai seorang hamba, maka tragedi itu, musibah yang dimaksud Rasulullah itu sangat mungkin terjadi.

Sebab dengan cara penyikapan yang demikian, maka nilai-nilai substantif (hakikiyah) dari ibadah puasa, salat malamnya (tarawih, tahajud dan witir), tadarus Al Quran, sedekah, zakat fitrah, bahkan tirakatnya menjemput Lailatul Qadar serta perilaku sosial yang menyertainya seperti sabar, ikhlas, empati dan peduli, serta toleran dengan sendirinya akan berakhir.

Semua nilai dari berbagai ibadah yang dilakukannya sepanjang Ramadan akan berhenti saat Ramadan berakhir dan tidak mengalir sebagai gelombang pembaruan kualitas pribadi (baik dimensi relijiusitas maupun spiritualitas) pada sebelas bulan berikutnya.

Tetapi sebaliknya, jika seorang muslim menjadikan Ramadan sebagai momen untuk muhasabah (refleksi, mawas diri), tazkiyatunnafsi, dan yang paling penting diproyeksikan sebagai kesempatan untuk memperbarui kualitas ketaqwaan dari waktu ke waktu, meningkatkan derajat relijiusitas dan spiritualitas sebagai hamba Allah secara berkesinambungan, tentu saja musibah atau tragedi itu bisa dihindari.

Sebagaimana firman Allah dalam Al Quran surat Al-Hasyr ayat 18: "Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan."

Maka dengan demikian, Ramadan sebagai momentum boleh berakhir, tetapi nilai-nilai substantif ubudiyah dan perilaku keseharian yang telah dihidupkannya sepanjang Ramadan akan terus menyala pada sebelas bulan berikutnya hingga kelak, jika Allah masih memberi kesempatan usia, dipertemukan lagi dengan Ramadan tahun berikutnya. Keywordnya adalah istikamah dengan apa yang telah dijalaninya selama Ramadan.

Dan jangan pernah lupa, Allah SWT, di dalam maupun di luar Ramadan, sesungguhnya tetap saja Maha Rahman dan Rahim (Pengasih dan Penyayang), Maha Pengampun, dan Maha Pengijabah segala doa.

Doa Menjelang Ramadan Berakhir

Dalam kaitan itulah Rasulullah SAW kemudian mengajarkan kepada para sahabat dan umatnya beberapa doa relevan menjelang akhir Ramadan, beberapa doa penting ini adalah sebagai berikut.

"Ya Allah, janganlah Kau jadikan puasa ini yang terakhir dalam hidupku. Jika Engkau menjadikan sebaliknya (sebagai puasa terakhir), jadikanlah aku sebagai orang yang Engkau sayangi dan jangan jadikan aku sebagai orang yang Engkau jauhi."

Terkait doa itu, di dalam hadits Jabir bin Abdillah dari Muhammad al Mustafa, Rasulullah SAW memberi kabar sekaligus motivasi, "Siapa yang membaca doa ini pada hari terakhir Ramadan, ia akan mendapatkan salah satu dari dua kebaikan, yakni antara menjumpai Ramadan mendatang atau pengampunan dan rahmat Allah."

Doa lainnya yang relevan, yang lazim diamalkan oleh para Ulama agar kita bisa dipertemukan lagi dengan Ramadan berikutnya: "Allahumma sallimni ila ramadhana wa sallim li ramadhana wa tasallamhu minni mutaqabbala." (Ya Allah, antarkanlah aku hingga sampai Ramadan dan antarkanlah Ramadan kepadaku dan terimalah amal-amalku di bulan Ramadan).

Dan akhirnya, doa yang tidak kalah penting yang juga lazim dibacakan para Imam usai salat Tarawih sepanjang Ramadan:

"Rabbana taqabbal minna shiyamana wa qiyamana wa ruku'ana wa sujudana wa tilawatana innaka antas sami'ul alim". Wahai Tuhan kami terimalah puasa kami, salat kami, rukuk kami, sujud kami, dan tilawah kami. Sesungguhnya Engkau Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.

Semoga manfaat. Wallahu'alam Bishowab.

Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url