Liputan6.com, Surabaya: Enam tahun yang lalu Guntur keluar masuk dari panti asuhan lantaran tidak sesuai apa yang ia harapkan. Perasaan pesimis selalu muncul, seolah harapan masa depan sudah tak ada lagi.
Setelah kurang lebih setahun tinggal di salah satu panti asuhan di Kota Solo, Jawa Tengah, pada 2005 lalu pria bernama lengkap Guntur Prasetya ini akhirnya mendapat rekomendasi tinggal di sebuah rumah asuh penyandang cacat, yang kini menjadi sebuah yayasan bernama Yayasan Bina Karya Tiara, yang berlokasi di Jalan Sidosermo Indah II/5, Surabaya.
Di rumah asuh inilah, Guntur dan 42 teman lainnya mendapatkan keahlian menjahit. Tiga tahun pria lamanya, penyandang cacat tanpa lengan kanan dan kaki kanan ini berusaha berlatih untuk menjahit lebih mahir. hasilnya, ratusan karya pun terpampang memenuhi berbagai etalase toko pakaian dan kerajinan tangan di tanah air.
Bahkan hasil kerajinan tangan Guntur dan kawan-kawannya telah dikirimkan ke pameran industri di mancanegara, seperti di Australia pada 2009 lalu. Bukan hanya itu, puluhan penghargaan pun telah diraihnya, salah satunya penghargaan PBB yang diraih yayasan ini 2005 lalu.
Ratusan karya dari mulai pernak-pernik, sampai pakaian busana muslim menjadi kebanggan tersendiri bagi pria kelahiran Sidoarjo 10 November 1986 ini. Kehadirannya di Yayasan Bina Karya Tiara juga menjadi kebahagiaan tersendiri yang tak ternilai, meskipun dengan penghasilan pas-pasan.
Guntur mengaku, kawan-kawan senasibnya sudah ia anggap layaknya saudara kandung. Bahkan di tempat ini pula Guntur telah menemukan calon pendamping hidupnya.
"Yah saya sangat bersyukur bisa kerja di sini, saya bisa ketemu banyak temen-temen yang sudah seperti saudara. Yang terpenting adalah pengalaman," ujar Guntur saat ditemui Liputan6.com, di Surabaya, Rabu (3/8).
Rata-rata dengan keahlian yang sudah cukup baik, para penghuni sekaligus pekerja yayasan seperti Guntur, dapat menerima penghasilan Rp700 ribu per bulan. Bagi yang memiliki keahlian minim, mereka umumnya mendapat penghasilan sekitar Rp200 ribu hingga Rp400 ribu per bulan dengan sistem gaji borongan.
"Alhamdulillah walaupun orang tua ga ngarepin uang dari penghasilan saya, saya sudah bisa bantu orang tua saya dikit-dikit. Tapi untuk kebutuhan saya sudah cukup," tutur Guntur.
Berbeda dengan Jaini Suseno, pria kelahiran Blitar 2 Mei 1984 ini mengaku sudah 7 bulan tinggal di rumah asuh ini. Dengan keahlian menjahit yang tergolong masih minim, dia sudah mampu menjahit asesoris pada pakaian busana muslim. Dalam sebulan, pria yang mengaku cacat kedua kakinya sejak sekolah menengah pertama ini rata-rata memperoleh penghasilan Rp400 ribu sebulan.
"Alhamdulillah saya sudah kerja, orang tua udah seneng banget. Dulu saya hanya minta sama orang tua kalau pingin apa-apa. Saya ingin buktikan kalau saya bisa seperti orang normal," ungkapnya.
Dengan datangnya bulan ramadan ini, Guntur, Jaini dan kawan-kawan lainya merasa bersyukur. Pasalnya dengan datangnya bulan suci ini, jumlah permintaan hasil karyanya, terutama pakaian naik dua kali lipat.
Guntur maupun Jaini dan kawan-kawan berharap, usai menikah nanti, dapat memiliki usaha sendiri. Seperti teman-teman pendahulunya yang umumnya usai menikah mereka berwirausaha sendiri.
"Tiga puluh persen yang pernah tinggal di sini umumnya mereka sudah mandiri, punya usaha sendiri. Yang lainya mereka biasanya diminta perusahaan-perusahaan," ujar Direktur Yayasan Tiara Handicraft, titi Winarti. (Roman/mla)